Lihat ke Halaman Asli

Kiki DewiTrimulyani

Manusia yang tidak sebaik dan juga tidak seburuk yang kalian kira.

Tradisi Sesaji Malam Takbiran di Desa Sumub Lor

Diperbarui: 22 Juni 2021   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Hari raya idul Fitri adalah hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan penuh, karenanya hari Idul Fitri merupakan hari yang selalu dinantikan oleh setiap muslim diberbagai belahan dunia, tak terkecuali yaitu Indonesia. Setiap wilayah pasti memiliki ciri khas atau tradisi tersendiri dalam merayakan hari kemenangan tersebut.

Suatu tradisi memiliki nilai waris yang sangat tinggi untuk di masa depan, keharmonisan antar makhluk menjadi sangat damai dan dapat terpelihara. Salah satu tradisi yang ada di Indonesia yaitu tradisi pemasangan sesaji untuk leluhur. Munculnya kebudayaan ini tidak terlepas dari unsur budaya Hindu yang melekat di masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Jawa dan Bali, dan menjadi akulturasi dan bercampurnya budaya dengan budaya yang baru masuk ke Indonesia, seperti sesesaji akulturasi dari budaya Hindhu-Islam. Indonesia merupakan negara majemuk, terdiri berbagai macam suku dan memiliki berbagai macam tradisi yang masih dipertahankan dan dilestarikan. Salah satu pelestari tradisi pemasangan sesaji yang hingga saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa yaitu di Desa Sumub Lor Kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan.

 Desa Sumub Lor hampir 99% merupakan keturunan Jawa asli Desa Sumub Lor, sedangkan sisanya yang sebagian kecil merupakan pendatang dari desa lain yang kemudian menetap. Semua masyarakat di desa Sumub Lor ini menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari. Seluruh masyarakat desa Sumub Lor beragama Islam yang didominasi oleh warga Nahdatul Ulama namun ada juga sebagian kecil yang merupakan bagian dari warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan Muhammaddiyah. Masyarakatnya juga sebagian besar memiliki pendidikan dan paham mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi serta modern. Sementara pekerjaan masyarakat disini juga beragam, diantaranya ada yang bekerja sebagai wiraswasta, petani, buruh dan lain-lain bahkan masih ada beberapa yang pengangguran.

 Sumub Lor ini termasuk desa yang lumayan jauh dari pusat kabupaten bahkan untuk sampai ke kecamatan pun harus menempuh jarak 3,4 km namun, masyarakatnya sudah termasuk dalam masyarakat modern dan kekinian. Akan tetapi dalam berbagai urusan, masih banyak masyarakat di desa Sumub Lor yang masih sangat kental dengan tradisi Jawa-nya. Salah satunya yaitu pemasangan atau pemasangan sesaji untuk leluhur, yaitu tradisi memberi sesaji di depan rumah ketika malam takbiran hingga pagi hari di hari raya idul fitri.

Acara ritual memberi sesaji dan sebaskom atau semakok air yang ditaburi bunga kemudian diletakkan di depan rumah masing-masing merupakan warisan leluhur masyarakat yang masih melekat hingga sekarang. Salah satu masyarakat yang menjalankan tradisi tersebut, yaitu Ibu Sundarih (78 tahun) mengatakan bahwa kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi di daerah Sumub Lor, dengan memajang sesaji di depan rumah berupa makanan khas lebaran seperti lontong, lauk ayam, sayur lodeh, pisang, rokok, bunga 7 rupa dan uang seikhlasnya lalu diberi lilin atau damar dan air yang diletakkan di baskom dengan ditaburi bunga. Air bunga dalam baskom tersebut nantinya digunakan seluruh anggota keluarga untuk mandi di pagi hari ketika hendak melaksanakan sholat idul fitri.

Semua ini dilakukan masyarakat Sumub Lor sebagai tradisi tanda bahwa perayaan idul fitri telah tiba dan sebagai rasa syukur atas limpahan rahmat Allah SWT dan menjadi tolak balak dan percaya bahwa sesepuh mereka yang telah meninggal bisa bisa memakan sesaji tersebut. Biasanya uang yang diletakkan di sesaji tersebut juga 'di rundok' atau diambil oleh anak-anak kecil untuk dipakai jajan mereka. Bagi masyarakat itu juga dapat memeriahkan perayaan malam idul fitri dan dengan adanya sesaji di masing-masing rumah mereka itu sebagai tanda bahwa hari raya idul fitri telah tiba.

Pemasangan sesaji ini masih dilaksanakan karena ada rasa takut masyarakat jika tidak memasang akan terjadi hal- hal yang tidak diinginkan maksudnya adalah adanya kejadian seperti meninggalnya salah satu sanak saudara dari orang yang tidak memasanag Sesaji. Bukan hanya itu ada rasa tidak nyaman atau merasa tidak enak dihati jika tidak memasang sesaji pada satu waktu jika biasanya selalu memasang sesaji. Dan etnis Jawa percaya dengan apabila lebaran atau hari raya tiba maka leluhur akan kembali kerumahnya masing-masing sehingga jika diibaratkan kedatangan tamu maka tamu itu harus dijamu dan dilayani.

DAFTAR PUSTAKA

http://sragisumublor.blogspot.com/2014/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1 diakses pada tanggal 25 Mei 2021

Nurjannah dan Siti Haziza. (2019). Makna Pemasangan Pintan (Sesaji) Dalam Menyambut Dan Mengakhiri Bulan Ramadhan Pada Etnis Jawa Di Dusun Vii Desa Laut Dendang. Jurnal Antropologi Sumatera Vol.17, No.2.

Adam, U.J., Yusup, A., Fadhullah, S.F., Nurbayani, S. (2019). Sesesaji sebagai nilai hidup bermasyarakat di Kampung Cipicung Girang Kota Bandung. Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development, 1(1), 2-XX.

Wawancara dengan Ibu Sundarih (warga pelestari tradisi pemasangan sesaji di depan rumah ketika malam takbiran) pada tanggal 25 Mei 2021.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline