Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari dr. Ayu dan Dana BOS

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Siang nanti, Forum Civitas Akademika Kedokteran Surabaya akan mengadakan Gelar Doa dan Aksi Keprihatinan Mahasiswa Kedokteran dan Dokter di Surabaya. Kegiatan ini akan diselenggarakan di halaman depan kampus saya, Fakultas Kedokteran Unair. Saya tidak berencana ikut serta. Jarak sama sekali bukan alasan, tapi saya memilih berjuang dengan cara ini.

Semalam saya berdiskusi dengan teman sejawat tentang kasus yang menimpa dr. Ayu. Seru dan merambat pada kompensasi yang diterima dokter. Sayangnya berakhir dengan beda pendapat. Diskusi yang sama sudah pernah terjadi dengan sejawat lainnya ketika dalam grup jejaring sosial kami mengambil topik BPJS. Tak kalah serunya dan lagi-lagi berakhir dengan selisih pendapat. Saya gundah dan mulai meragukan semangat korps saya. Masihkah saya seorang dokter? Namun, pernah pula saya berdebat seru dengan kawan SMA yang menggeluti bidang profesi IT. Mati-matian saya membela dokter ketika dia mempertanyakan kinerja kami. Sekali lagi, saya tidak mendapatkan hasil yang saya harapkan. Teman saya bertahan dengan pendapatnya bahwa masih ada yang salah dengan performa dokter di tempat kerja. Gilanya, walaupun saya berusaha mematahkan opininya, saya tetap berpikir bahwa bisa jadi teman saya itu benar.

Siang itu di ruang tamu seorang saudara. Saya menjawab pertanyaannya tentang kasus dr. Ayu dengan menggebu-gebu. Dia tampak tak sepenuhnya paham dengan penjelasan saya. Tapi sebenarnya yang dia cari adalah konklusi bahwa tidak ada unsur kesengajaan dalam peristiwa itu. Tentu saja! Kami ini dididik untuk menolong orang, Bu, bukan untuk membunuhnya! Sedikit geram saya jadinya. Saudara saya melanjutkan dengan pertanyaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kasus dr. Ayu tapi mewakili suara hatinya sebagai pengguna jasa dokter. Dan lagi-lagi saya gelagepan. Dia bertanya, “Sebenarnya kenapa kok dokter itu bayarnya mahal? Kemarin bude ke RS untuk diambil caplaknya saja harus membayar 13 juta”. Saya menjelaskan kemungkinan biaya itu termasuk sewa kamar operasi, obat-obatan dan biaya kamar menginap. “Enggak, itu hanya jasa dokter. Ada kok di rinciannya”. Kebetulan saya tahu tindakan apa yang dilakukan dokter bedah pada bude yang kami bicarakan itu. Hmm.. menurut saya memang agak mahal.

Sepanjang pengetahuan saya, dokter memang berkuasa penuh atas tarifnya. Ada yang memilih tarif tinggi hingga menjadi gunjingan perawat dan dokter lain di RS. Ada yang merasa cukup dengan besaran wajar. Tapi, ada juga dokter yang terpaksa menerima berapa pun karena bekerja di RS yang menetapkan tarif jasa pelayanan hanya ratusan rupiah per pasien. Lantas, apa itu artinya ada dua macam dokter, berhati emas dan raja tega? Atau dokter yang penuh pengabdian dan yang materialistis?

Sebenarnya sangat tidak pantas menyebut dokter dengan raja tega ataupun materialistis. Selain pendidikan panjang, berat, dan mahal yang harus dijalani dokter, ketika sudah bekerja risiko yang ditanggungnya sangat besar. Urusannya adalah nyawa orang lain dan nyawanya sendiri. Harus ekstra hati-hati dalam bertindak menghadapi beragam penyakit, harapannya supaya pasien sembuh dan diri sendiri tidak tertular penyakit. Tidaklah berlebihan kalau masyarakat harus membayar untuk itu. Masalahnya, angka berapa yang pantas? Seribu? Sejuta? Sepuluh juta? Seratus juta? Sebentar. Kaca mata siapa yang digunakan untuk menentukan, dokter atau pasien?

Tak jarang saya mendengar keluhan teman (bahkan saya sendiri pernah mengeluh demikian) tentang pasien yang menganggap biaya dokter dua ratus ribu berat tetapi membeli tas lima ratus ribu dengan suka cita. Ketika PTT dulu, saya menerima gaji bulanan sebesar satu juta dua ratus untuk jaga UGD 16 jam (2 shift) sehari, 3-4 hari seminggu, dengan jumlah pasien rata-rata di kisaran 30 per shift, ditambah tanggung jawab penuh atas semua pasien rawat inap di RS tersebut. Saya pikir, satu juta dua ratus tidak cukup layak. Tapi, ketika saya menyadari, bahwa segmen RS tempat saya bekerja adalah menengah kebawah, biaya beberapa puluh ribu yang dibayar pasien masih harus digunakan untuk menutup biaya operasional RS lainnya, dan demi mengetahui beberapa puluh ribu itu berwujud lembar ribuan lusuh dari dompet butut, uang sejumlah itu jadi memiliki makna yang berbeda. Beda lagi ceritanya kalau yang datang ibu-ibu menor dengan gelang emas berbaris dilengannya atau bapak-bapak berpakaian rapi dengan sepatu necis tapi menyodorkan kartu JPS ketika akan mengurus biaya RS. Sungguh jengkel nian hati saya.

Ini adalah tahun ke delapan saya hidup di desa bersama masyarakat yang kualitas hidupnya jauh dibawah lingkungan saya ketika masih tinggal di Surabaya. Di sini, siapapun yang sakit harus punya uang. Bahkan ketika kesehariannya dia tak beruang, saat sakit dia tidak boleh tidak punya uang. Bukan hanya lantaran biaya pengobatan, namun juga karena biaya transport dan akomodasi saudara-saudaranya yang menjadi penunggu di lorong RS. Saya pernah berbincang dengan tetangga yang kebetulan sanaknya sedang dirawat di RS. Saya mengusulkan supaya penunggu cukup satu orang saja. Selain irit, yang lain juga bisa tetap bekerja untuk membantu meringankan biaya pengobatan. Jawabnya, itu adalah wujud perhatian dan balas jasa yang bisa mereka berikan pada si sakit. Kesempatan seperti itu tidak selalu datang sehingga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Saya hanya menghela nafas. Berpikir ekonomis memang tidak mudah. Tapi yang jelas, mereka ini bukan golongan yang enteng mengeluarkan uang untuk belanja tapi pelit terhadap kebutuhan kesehatannya. Biaya perawatan dan biaya hidup penunggu selama di RS, dua-duanya selalu mereka upayakan apapun hasilnya. Sampai disini terlintas dalam benak saya, apakah orang-orang yang saya maksud mau-beli-tas-mahal-tapi-tidak-mau-bayar-dokter-dengan-pantas itu adalah orang yang sama dengan orang-orang yang tidak mampu membayar jasa dokter? Apakah saya dan teman-teman saya menyadari bahwa selain pasien jenis pertama tadi juga ada pasien jenis orang susah? Jika memang ada dua jenis yang berbeda, bisa jadi kami terjebak melakukan generalisasi yang membuat kami jadi jengkel. Di sisi lain, pasien yang memang susah jadi memendam prasangka bahwa dokter yang sebenarnya bisa bermurah hati memilih menarifnya mahal (menurutnya, karena mahal adalah sesuatu yang relatif). Itu satu.

Di banyak RS, dokter diminta memeriksa puluhan pasien dengan wajah cerah senyum ramah suara renyah dan melakukan tindakan medis sempurna tak bercela. Namun di akhir bulan, di rekening mereka hanya tertera nominal sejuta lebih sedikit. Saya penasaran, apakah masyarakat tahu bahwa banyak dokter semacam ini, yang tidak bisa memberikan penghidupan layak pada keluarganya sementara hidupnya diabdikan untuk keluarga orang lain, disamping dokter-dokter yang memasang tarif selangit tak pandang bulu? Saya khawatir, masyarakat hanya tahu jenis dokter ini, dokter yang seringkali membuat mereka jengkel karena selain tarif mahal, mereka juga memberikan resep obat dengan harga mahal, ditambah pelayanan dengan konsultasi dan senyum yang juga mahal. Tak heran kalau akhirnya tuntutan masyarakat terhadap dokter menjadi tinggi pula. Tuntutan tinggi yang juga ditujukan pada dokter dengan gaji rendah. Generalisasi oleh masyarakat terhadap dokter itu adalah hal kedua.

Ketiga, tentang malpraktik. Menurut saya, sumber masalah ini adalah ketidaktahuan pasien dan keluarganya tentang tindakan pengobatan yang diterimanya, baik tentang prosedur, efek samping, maupun risiko yang mungkin terjadi. Ketidaktahuan ini mendorong pasien untuk memasrahkan diri sepenuhnya pada dokter alih-alih mencari tahu apa yang terjadi dengannya. Ini bukanlah hal yang benar, terlebih sikap pasrah diri ini disertai dengan pengharapan kepada dokter layaknya pemberi hidup. Di lain pihak, terkadang dokter turut menyukseskan proses ini dengan tidak memberikan keterangan secara jelas kepada pasien dan keluarganya. Penandatanganan formulir persetujuan tindakan medis pun dilakukan dengan cara “silahkan tanda tangan disini, Pak” tanpa disertai penjelasan gamblang tentang isi dokumen tersebut. Pengharapan tinggi dengan proses tidak sempurna inilah yang memicu konflik dokter-pasien.

Pasien dan keluarganya bilang: kami sudah sepenuhnya mematuhi saran dan petunjuk dokter, tapi kenapa masih saja tidak sembuh bahkan cacat ataupun meninggal?
Dokter bilang: kami sudah berupaya semaksimal mungkin sesuai dengan prosedur yang ada, tapi apa daya, dokter kan bukan tuhan
Pasien dan keluarganya membela diri: dari mana kami tahu tindakan yang diambil dokter sudah sesuai dengan prosedur, bukankah kami tidak pernah diberitahu dan kalaupun diberitahu itu pun tidak membuat kami paham?
Dokter menyangkal: kenapa pasien tidak mau bertanya kalau memang tidak tahu? Di setiap rumah sakit pasti ada SOP untuk tindakan-tindakan yang bisa dilakukan di RS itu. Kenapa tidak mencari tahu sendiri? Lagi pula, kalau harus menerangkan panjang lebar, pasien yang berjubel di ruang tunggu itu pasti protes. Belum lagi, kami ini belum tidur sejak kemarin karena bertugas jaga malam di RS.
Pasien dan keluarganya masih melanjutkan: bukankah kami sudah membayar mahal untuk dapat pelayanan kesehatan dari dokter?
Dokter tersentak: mahal?? Gaji bulanan kami tidak cukup untuk uang sekolah anak. Bahkan pagi ini ada edaran dari direksi RS bahwa gaji kami bulan ini dipotong untuk kepentingan yang kami sendiri tidak tahu itu apa!

Perseteruan ini tidak akan pernah selesai walaupun kadang heboh kadang surut. Karena pada dasarnya, masyarakat membutuhkan jasa dokter dan dokter sendiri dididik untuk mengabdi dan berbudi. Sampai kapan pun dokter tidak akan pernah tega mengabaikan pasiennya demi unjuk rasa menyatakan haknya yang tertindas (untuk mereka yang tertindas). Dan tak lama lagi, masyarakat pasti juga menyadari bahwa pengabdian dokter tidaklah main-main dan mereka membutuhkan dokter untuk kesehatannya sehingga sangat tidak perlu menuding dokter layaknya kriminal. Namun, hal ini akan menjadi bom waktu saja jika tidak ada penengah untuk menyelesaikannya. Karena saat sedang tenang, yang terjadi bukanlah saling memahami tetapi saling menahan diri karena dorongan kebutuhan. Dan manusia terkenal sebagai makhluk yang tidak terlalu pandai menahan diri. Tunggu saja ledakan berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline