Lihat ke Halaman Asli

Bullying dalam Keluarga

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://cdn.belajarpsikologi.com

Masyarakat kita cenderungmembiarkan bully karena dianggap main-main saja, apalagi kalau dilakukan oleh kakak kepada adik danorang dewasa kepada anak-anak di dalam keluarga.

Bullying sendiri artinya ancaman, pemaksaan, kekerasan fisik maupun verbal yang dilakukan berulang-ulang untuk memaksakan dominasi (kekuasaannya) terhadap orang lain. Bullying dilakukan oleh pihak yang lebih kuat (superior) kepada pihak yang lebih lemah baik fisik maupun mental. Ancaman dan kekuatan fisik sering digunakan meskipun bukan untuk melakukan kekerasan fisik, tapi untuk menimbulkan rasa tidak berdaya dari pihak yang menjadi sasaran (korban). Tapi dominasi yang sifatnya non-fisik juga bisa dilakukan yaitu kedudukan yang lebih tua kepada yang lebih muda, misalnya.

Kebanyakan dalam keluarga,orang tua menganggap sepele kala kakak atau orang dewasa mengolok-olok anak kecil yang dianggap menyenangkan untuk diganggu karena culun dan cengeng.Termasuk pembantu, senang menggoda anak saya yang kecil. Termasuk menakut-nakuti soal hantu hanya untuk bahan tertawaan.Saya menegur pembantu sekali, sudah cukup.Tapi anak sulung saya sampai sekarang masih belum berhenti mengolok-olok adiknya, termasuk menakut-nakuti soal hantu (ini senjata yang paling jitu!).Kedua anak saya ini berbeda usia 5 tahun. Meskipun anak sulung mengolok-olok adiknya hanya sekedar bercanda, namun sang adik menolak cara bergurau dengan olok-olok begitu. Saya pun mengatakan larangan berolok-olok kepada adiknya dan harus bersikap sebagai teman yang setara.

***

Anak yang lebih kecil dan lemah menjadi sasaran bullying dalam keluarga, bukanlah hal yang aneh di masyarakat kita. Apalagi di jaman saya anak-anak. Kakak menggetok kepala adiknya, memerintah, menendang, atau mengejek, bukan hal yang susah ditemukan. Kakak itu superior dan merasa berhak marah kalau perintahnya tidak diturut. Selain itu juga punya kekuatan fisik untuk membuat takut adiknya, terutama yang jauh lebih kecil.

Orang tua pun menganggap sepele, bahkan juga merupakan pelaku bullying terhadap anaknya sendiri. Aneh sekali kalau dipikir. Bisa-bisanya ya sebuah keluarga seperti itu. Orang dewasa yang suka humor menganggap lucu saja mencandai anaknya sendiri dengan cara mengolok-olok atau menakut-nakuti dengan cerita hantu. Aneh tapi nyata, semoga sekarang sudah tidak ada orang tua yang selera humornya seperti itu.

Beberapa puluh tahun silam, saya malah sangat takjub dengan keluarga teman SMP saya. Kakak-kakak perempuannya menyebut dia si jelek danibunya seperti mengiyakan. Sebenarnya tidak masalah olok-olok itu kalau saja si teman saya itu menanggapinya dengan dingin atau ketawa. Wong saya juga anak paling jelek dalam keluarga dan mendapat olok-olok begitu dari teman sekolah yang datang ke rumah. Tapi teman saya itu menanggapinya dengan mendalam dan cenderung jadi anak yang minder dan nervous. Padahal dia tidaklah jelek, tapi hitam manis. Berbeda dengan kakak-kakak perempuannya yang semuanya putih dan cantik.

Saya mendengar sendiri teman saya itu disebut anak paling jelek dalam keluarga.Kok tega sekali, menurut saya karena melihat kelemahan teman saya itu. Ibu dan bapaknya ya menganggap kelakar saja ketika salah satu anak perempuannya yang cantik itu mengolok adiknya itu “Gak akan laku punya pacar….”

[caption id="" align="aligncenter" width="286" caption="Sumber: http://cdn.belajarpsikologi.com"][/caption] Aneh sekali keluarga ini, pikir saya. Saya tidak suka pada ibu dan saudara-saudara perempuannya itu meskipun tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari karena saya orang luar. Yang saya tahu, teman saya itu merupakan anak yang minder dan nervous di sekolah. Terkadang juga curhat tentang sikap keluarrganya terhadap dia.

Memang bullying itu sering tidak terasa.Apalagi kalau dilakukan dalam keluarga. Perlakuan orang tua yang memilih salah satu anaknya sebagai anak emas atau anak kesayangan juga sebenarnya berdampak negatif dan tidak baik bagi perasaan anak-anak lainnya.

***

Suatu hari teman saya itu datang bertamu dan mulai berbicara yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sepertinya sedang membaca ayat suci Al Qur’an. Kalau saya ajak bicara, tidak diresponnya. Bicara saja sendiri.Barangkali hanya sekitar 10-15 menit mampir, kemudian dia pergi. Sayangnya saya tidak sempat meminta nomor hapenya.

Anak saya bertanya: Apakah tamu tadi sakit jiwa?

Saya menggelengkan kepala karena tidak tahu.Saya selalu dianggapnya sebagai teman dekat karena itu teman saya ini masih datang berkunjung. Tapi,selama puluhan tahun sesudah sama-sama menikah, berkunjungnya ya cuma bisa dihitung dengan jari. Terakhir kedatangannya, dia nampak sudah sangat kacau sekali.

Teman saya itu memang rapuh.Tapi saya tidak menyangka bahwa ambrolnya pertahanan mental dia itu terjadi setelah usia sekarangdan mempunyai 2 anak dengan kehidupan yangnampaknya baik secara sosial maupun ekonomi.Suaminya ganteng dan lulusan ITB. Teman saya ini juga sarjana dan bekerja. Saya pernah mendengar dari teman saya ini bahwa kakak-kakak perempuannya yang cantik-cantik itu lebih hebat suaminya dan selalu dibanggakan orang tuanya. Ibunya selalu membandingkan kehebatan dari suami anak-anak perempuannya. Kakak-kakak perempuannya ini pun suka sekali saling pamer diri.

Entahlah, apa sebenarnya yang menyebabkan teman saya hancur begitu. Setahu saya, teman saya itu sejak jaman sekolah sampai kuliah selalu merasa dirinya jelek (lebih jelek dari saudara-saudaranya) dan itu sangat membebaninya. Padahal, sebenarnyadia itu sama sekali tidak jelek.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline