Lihat ke Halaman Asli

Manakah yang Lebih Adil? Penerimaan Siswa Baru Sistem Cluster atau Sistem Rayon di Kota Bandung?

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Raut wajah ibu-ibu yang anaknya biasa berprestasi di sekolah, nampak tidak gembira ketika mendapat penjelasan tentang kebijakan baru Walikota Bandung yang menerapkan sistem wilayah pada penerimaan siswa baru SD, SMP, dan SMA (dan sederajat) pada tahun 2014 ini. Ini menggantikan sistem cluster (1 sampai 4) yang berlaku sebelumnya.

Mengapa ibu-ibu tersebut tidak senang?Karena harapan mereka anaknya masuk ke sekolah ‘top’ menjadi pupus dengan penerapan sistem wilayah. “Ini tidak adil buat anak-anak yang sudah bekerja keras belajar untuk mendapatkan nilai yang baik….” Gerutu ibu-ibu tersebut.

Tanggapan berbeda datang dari ibu-ibu yang anaknya yang biasanya memiliki nilai biasa atau bahkan kurang. “Wah, ada harapan anak keterima di sekolah negeri asalkan lokasinya dekat tempat tinggal ya….” Kata seorang ibu.“Iya, tapi ya nilai US/M nya jangan jeblok-jeblok banget juga barangkali….” Timpal ibu yanglain (Catatan: US/M merupakan istilah pengganti UN untuk SD yang akan masuk ke SMP tahun 2014 ini).

Apa sebab anak-anak pintar merasa dirugikan, sedang anak-anak lainnya yang memiliki nilai sedang dan biasa merasa mempunyai harapan bisa masuk ke sekolah negeri?Hal ini dapat dipahami karena cara penerimaan siswa berbasis wilayah tersebut mengutamakan anak-anak warga setempat untuk bisa mengakses pendidikan di suatu sekolah.

***

Pro-kontra Penerimaan Siswa Baru Berbasis Wilayah

Saya yakin bahwa penerimaan siswa baru berbasis wilayah dicanangkan bukan sekedar karena alasan teknis dan sederhana supaya mengurangi kemacetan karena siswa ber sekolah di dekat tempat tinggalnya masing-masing.Ada hal-hal yang lebih mendasar antara lain untuk menghilangkan adanya diskriminasidalam memperoleh pendidikan yang merupakan hak semua anak, baik itu yang pinter sekali, pinter, biasa, atau bahkan kurang.Sebab dengan sistem wilayah, anak-anak yang memiliki keragaman kemampuan itu dapat ber sekolah di sekolah yang sama sehingga terjadilah saling pembelajaran dan sikap toleransi terhadap anak yang kurang atau ketinggalan.

Hal ini berbeda dengan sistem cluster yang mengumpulkan anak-anak pinter di sekolah-sekolah cluster-1 sehingga ada sekolah-sekolah yang ngetop karena murid-muridnya pinter-pinter semua dan ada sekolah-sekolah yang dianggap kelas rendah karena menampung murid-murid dengan nilai rendah.Hal ini membuat terjadi kesenjangan antara sekolah yang maju (identik denggan cluster tinggi) dan sekolah yang kurang maju (identik dengan cluster rendah), padahal seharusnya semua sekolah memiliki standar pelayanan dan kualitas yang sama baiknya. Namun secara alamiah, sekolah-sekolah yang paling diharapkan para orang tua tertentu adalah sekolah-sekolah dengan cluster yang tinggi karena memang merupakan sekolah ‘top’ dan ‘elit’.

Keberatan para orang tua mengenai perekrutan murid berbasis wilayah menunjukkan bahwa orang tua sudah terbiasa dengan sistem ‘kompetisi’ ketimbang dengan sistem solidaritas sosial yang ingin dikembangkan. Begini kata seorang orang tua “Anak saya bekerja keras untuk mendapat nilai tinggi, mosok disatukan dengan murid-murid yang nilainya di bawah karena sistem wilayah....”Tentunya maksud si ibu, baginya lebih menguntungkan kalau anaknya masuk ke sekolah yang muridnya pinter-pinter berdasarkan system cluster ketimbang ke sekolah dengan kemampuan murid beragam karena system wilayah.

Siapa sih orang tua yang tidak bangga kalau anaknya masuk ke sekolah cluster-1?Tapi ibu ini tentunya tidak merasakan sedihnya orang tua yang punya anak sulit mencari sekolah karena nilainya biasa-basa. Padahal Konstitusi kan menyatakan hak pendidikan yang bermutu dan memberi kesempatan untuk majuitu ya hak untuk semua anak, bukan cuma untuk yang pinter saja.Lagipula yang nilainya bagus-bagus itu belum tentu lebih pinter. Bisa saja karena mampu ikut bimbingan belajar (bimbel) super instensif yang bayarannya mahal itu.Sedangkan anak yang tak mampu, boro-boro ikut bimbel.

Wajarlah tanggapan orang tua yang anaknya pinter-pinter menjadi kurang ikhlas, sedangkan orang tua yang anaknya biasa-biasa saja menjadi bahagia karena adanya secercah harapan.

***

Konsep Penerimaan Siswa Baru Berbasis Wilayah

Tahun 2014 iniPemerintah Kota Bandung menerapkan penerimaan siswa baru (SD, SMP, SMA dan sederajat) berbasis wilayah yang pertama kali sehingga belum sepenuhnya diberlakukan sistem wilayah atau disebut rayon tersebut. Setiap anak memilih 2 sekolah, pilihan-1 masih bebas memilih sekolah yang diinginkan, sedangkan pilihan-2 wajib memilih sekolah yang ada di wilayah/rayon tempat tinggalnya.Namun yang mengecewakan orang tua yang anaknya ingin masuk ke sekolah ngetop adalah ternyata pilihan-1 pun lebih dihargai bila sekolah itu ada di wilayah/rayon sendiri karena skor akan dikalikan ke angka 1,1. Artinya ada penambahan skor 10% untuk pilihan-1 yang berada di wilayah/rayon yang bersangkutan.

Pembagian wilayah/rayon SD, SMP, SMA dan sederajat dapat dilihat di Web PPDB Kota Bandung termasuk daftar sekolah yang masuk di dalam setiap wilayah/rayon.

Tentu saja ini membuat ibu-ibu yang tinggal di daerah Perumahan dan biasanya itu di pinggir kota attau di wilayah Kota Bandung berbeda menjadi sangat kecewa karena tidak dapat memilih sekolah ngetop yang lokasinya ada di pusat kota atau di wilayah kota lain.Kalau pun ‘maksa’ tetap memilih sekolah top di pusat kota, maka nilainya harus sangat tinggi dan juga bersaing dengan calon siswa yang tinggal di wilayah tersebut dan memperoleh bonus nilai 10%.Jelas, ini membuat orang tua (terutama ibu-ibu) berfikir seribu kali untuk memilih sekolah-sekolah top di Kota Bandung tersebut.

Selain ada penambahan skor bila memilih sekolah yang ada di wilayah/rayon pada sekolah pilihan-1, kemungkinan juga aka nada skor tambahan bila jarak sekolah itu dekat dengan tempat tinggal kita.Saya mendapat tabel penambahan skor dari sekolah anak saya, bila sekolah itu letaknya satu RT mendapat skor 6, satu RW skor 5, satu kelurahan skor 4, satu kecamatan skor 3, lintas kecamatan skor 2, sedangkan luar kota mendapat skor 1. Tapi formula penskoran seperti apa yang menghasilkan nilai akhir, pihak sekolah anak saya belum dapat menjelaskan. Saya pun mengecek ke Web PPDB Kota Bandung, ternyata belum tersedia Petunjuk Teknis (Juknis) yang biasanya memuat keterangan tentang formula penilaian yang mendasari seleksi penerimaan murid baru.

Karena penentuan berbasis wilayah, maka persyaratan pendaftaran yang penting antara lain adalah Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua orang tua dan Kartu Keluarga (KK) yang dilegalisir di tingkat kecamatan.KTP dan KK inikatanya tidak boleh baru dibuat sesudah Januari 2014. Hal ini akan mencegah usaha orang tua membuat KK baru dengan cara menitipkan anak kepada keluarga yang berlokasi di dekat sekolah yang diharapkan.Saya pun mengenal orang tua yang semula berencana melakukan hal seperti ini dengan memakai alamat nenek/kakek anaknya.

***

Kebijakan Sosial yang Adil dan Merata sebagai Dasar

Konstitusi menyatakan bahwa hak pendidikan yang bermutu dan memberi kesempatan untuk majuitu ya hak untuk semua anak.Kebijakan baru ini jelas untuk menjalankan amanah UUD dan UU Pendidikan agar anak-anak mendapatkan pelayanan sosial yang adil tanpa membeda-bedakan kelas sosial dan ekonomi. Adil dalam hal kemudahan akses dan juga kualitas pendidikan yang didapat.

Jelas bahwa kebijakan baru ini mencoba mengubah ketidakadilan akses sekolah karena lebih memprioritaskan anak-anak setempat untuk bisa masuk sekolah terdekat, penerapannya bukan hanya karena sekedar alas an macet di Kota Bandung. Bayangkan saja kalau anak Anda tidak dapat masuk ke sekolah yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah Anda, tidakkah Anda merasa diabaikan oleh pemerintah? Jadi, dengan memberi prioritas kepada anak setempat, keadilan sosial lebih diperhatikan.

Selain itu, sistem wilayah/rayon juga memeratakan reputasi sekolah karena murid yang masuk bukan mengutamakan basis nilai saja melainkan juga basis wilayah sehingga diharapkan semua sekolah akan terpacu meningkatkan mutu.Sekolah akan jadi ‘loyo’ kalau mendapat stigma dengan murid-murid yang kurang pandai, dan akan lebih bersemangat kalau penilaian negative tersebut dihilangkan.Sistem ini juga akan menghilangkan stigma sekolah papan bawah karena tidak diburu oleh murid-murid pinter, juga mengurangi kesenjangan sekolah yang menyebabkan adanya pembedaan sekolah ngetop dan tidak ngetop sekaligus sekolah elit dan tidak elit.

Sistem cluster itu bersifat diskriminatif terhadap anak, mengkotak-kotakkan, membeda-bedakan. Mosok anak-anak sendiri dibeda-bedakan seperti itu, apalagi kalau kemudian ada kelas khusus anak pinter di sebuah sekolah. Sama saja dengan membunuh potensi anak-anak bangsa sendiri dengan memberi stigma pembeda.  Selain itu juga sekolah menjadi ajang untuk menyuburkan nilai kompetitif ketimbang kerjasama dan saling belajar antara anak yang berbeda kemampuan. Kepedulian sosial akan terbunuh.

Kenyataan menunjukkan sekolah-sekolah cluser-1 itu ngetop, diburu para orang tua meskipun jauh dari tempat tinggalnya.Toh, mereka mampu menyediakan mobil dan sopir untuk antar jemput ke sekolah.Sehingga akhirnya sekolah cluster—1 selain ngetop karena mudirnya pinter-pinter, juga karena banyak dari kalangan orang kaya. Inilah yang menjadikan ketidakmerataan dan kesenjangan antar sekolah. Aneh, sekolah negeri kok jadi eksklusif untuk kalangan orang kaya?

Anak-anak adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk mendapatkkan pendidikan terbaik.Pendidikan itu diselenggarakan pemerintah sebagai pelayanan publik,dan harus bersifat lebih sosial ketimbang bisnis.Prinsip kebersamaan dan tanggung jawab sosial lebih besar ketimbang kompetisi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Orang tua yang belum ikhlas karena berharap anaknya masuk ke sekolah cluster-1 ya semoga akhirnya akan mengerti prinsip dasar kebijakan ini. Kalaupun tetap tidak mau mengerti, mungkin perlu menyimak apa yang dikatakan oleh Ahok yang kebijakannya sama dengan Walikota Bandung. Kira-kira begini kata Ahok: “Orang tua yang kepengen anaknya sekolah di sekolah ngetop atau elit jangan masuk ke sekolah negeri. Sekolah negeri itu dikelola pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak. Kalau yang ingin lebih atau ingin eksklusif, sekolahkan saja anaknya di sekolah swasta yang elit. Biarkan sekolah negeri itu untuk berbagai lapisan masyarakat yang lain….”

Nah, orang tua yang tidak mau sistem wilayah, sekolahkan saja anaknya ke skolah swasta yang ngetop dan elit. Kan banyak tuh di Kota Bandung…..Biarkan sekolah negeri itu untuk masyarakat yang tidak seberuntung Anda karena anaknya biar pun belajar keras ya tetap tidak sehebat anak Anda, tapi kan berhak sekolah juga. Juga ada anak-anak yang tidak mampu membayar bimbel yang mahal sehingga kalah bersaing secara tidak adil.

***

Syukurlah KangEmil (Ridwan Kamil), Walikota Bandung juga menerapkan kebijakan pendidikan dengan konsep pemerataan, keadillan, dan keberpihakan kepada masyarakat banyak. Barangkali dalam penerapannya masih banyak kekurangan karena baru mengawali, tapi merupakan angin segar bagii masyarakat banyak yang selama ini tersisih. Tersisih dari sekolah yang ada di dekatnya. Tersisih dari sekolah yang baik karena tidak beruntung punya kemampuan akademik dan fasilitas belajar yang berkecukupan.

Hidup Kang Emil!

Jangan lupa hidup Ahok! Hidup Jokowi! Hidup para pemimpin daerah yang mendapat penghargaan internasional karena kebijakan sosial yang pro masyarakat banyak.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline