Lihat ke Halaman Asli

The Butterfly Effect

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Seharusnya ia tak pernah melakukan itu, melakukan perselingkuhan itu, melakukan hal yang menyakiti hatiku, dan dia tahu betul itu pasti menyakiti hatiku” Ia bicara seolah semua yang terjadi padanya hanya karena sebuah peristiwa yang terjadi secara sepihak. A menyakiti B. seperti komunikasi radio, saya bisa mendengarkan tapi tak bisa menyampaikan jawaban apa yang penyiar radio katakan, seperti pembantu pada majikannya yang hanya bisa bilang “enggieh”, atau sesuatu seperti anak buah dan komandannya yang hanya bisa berujar “siap”, meski “siap” nya itu adalah jawaban atas perintah komandan untuk menyerang musuh, menyakiti dirinya, atau bahkan mengorbankan nyawanya.

Dan bahkan tsunami yang seolah terjadi tanpa bisa diprediksi saja selalu punya sebab. Bahkan gunung meletuspun. Bahkan seorang anak kucing lahir pun. Bahkan sebuah bunga pada akhirnya mekar pun. Semua punya sebab. Semua ada asal muasalnya. Tidak terjadi “pluk” jatuh begitu saja dari Tuhan. Tuhan memberi biji. Biji dimakan burung. Burung ee dimana-mana. Maka dimana-mana itu pulalah kemudian biji itu bercinta dengan tanah. Tumbuh. Tunas. Berdaun. Beranting. Berbunga. Datang burung dari generasi yang berbeda dengan burung sebelumnya, lalu pembuahan terjadi antara putik dan sari. Kemudian tumbuh buah. Dan seterusnya.

Yang terjadi pada dirinya bukan sebuah hubungan “pluk” semacam itu. Suami menyakiti istrinya begitu saja. Tiba-tiba berselingkuh. Pasti ada sebab jika akibatnya semacam itu. Maka karena ia berkoar padaku hampir setiap malam, hingga malam-malamku sebagai teman sekamarnya seperti sudah dikontrak untuk mendengarkan ia curhat, kata orang bilang, maka aku lama kelamaan menyusun rencana untuk membuatnya berhenti bicara tentang masa lalu perselingkuhan suaminya itu.

Nasi sudah jadi bubur, hari sudah berganti tahun, hidupnya sudah terlempar kesini, bertemu orang-orang baru, suaminya sudah beristri baru, tapi ia masih saja berkutat dengan kehidupannya yang lama. Dendam membara. Tapi menurutku, jika dendam itu tak mungkin tersampaikan lebih baik tidak usah dendam. Ia hanya bilang dendam, memendam benci. Tapi bahkan datang dihadapan mantan suaminya pun tidak berani. Apalagi jika aku beri saran agar ia bunuh saja mantan suaminya itu. Wahhh boro-boro berani, mimpi pun dia tidak. Lah, sekarang buat apa dendam-dendam segala jika dendamnya itu tak terlampiaskan. Bikin capek hidup lah. Kerja jadi buruh begini saja sudah capek kok. Apalagi disambi dendam-dendaman.

Tapi lain saya, lain pula ia. Kan saya nggak pernah punya suami selingkuh. Kalo pacar selingkuh sih sering, tapi saya melihatnya sebagai hubungan sebab akibat. Pacar saya selingkuh karna saya terlalu sibuk mburuh tiap hari. Jadi ya pacar saya nggak punya tempat buat sayang-sayangan, nggak papalah dia selingkuh, toh gampang putusin aja trus cari pacar lagi yang setidaknya tiga bulan pertama nggak selingkuh. Beda tho sama masalah dia yang sudah berstatus menikah? Saya nggak tahu menahu.

Tapi lantaran dia tiap malam selalu memberi saya cemilan berupa cerita perselingkuhan suaminya itu, saya jadi pengen tahu juga kayak apa sosok suaminya itu. Dan satu lagi yang ingin saya selidiki itu ya hubungan sebab akibat tadi. Dia sok suci banget seolah nggak bersalah, seolah suaminya thok yang salah. Nanti biar saya cari kesalahan dia sampai suaminya selingkuh. Biar saya kasih lihat dia. Biar dia nyadar. Biar dia nggak setiap sholat tahajud Cuma komat kamit minta keadilan sama Tuhan. Dan yang lebih penting, biar dia berhenti tiap malam curhat tentang mantan suaminya itu sama saya. Budeg kuping saya.

“Nama suamimu siapa?” Jika biasanya saya hanya diam mendengarkan dia curhat tentang suaminya, malam ini sedang tidak biasa. Saya menanggapi dia ngomong.

“Dika” katanya lirih. Eh, suaranya itu memang lirih. Ia tipe perempuan yang sangat perempuan sekali. Maksudku, dia penuh kelembutan, gerak geriknya lembut, cara bicaranya lirih, dan yang semacam itu. Jaman sekarang jarang-jarang kan ada perempuan yang sangat perempuan sekali seperti itu. But, No body’s perfect, saya yakin akan menemukan cara untuk mengetahui apa salah teman sekamarku itu di masa lalunya hingga diselingkuhi suaminya.

Dika, Dika, Dika, seperti apa gerangan manusia itu? Harus mulai dari mana saya mencarinya? Hal pertama yang terpikir saat itu juga adalah saya harus bertanya pada teman dekat nya, orang yang sekampung dengan ia, yang pastinya sedikit banyak tahu bahwa ia pernah punya suami dan akhirnya bercerai, dengan alasan perselingkuhan.

Hari itu juga selepas mburuh, masih dengan kaos seragam bertuliskan pabrik tempatku jadi buruh pasang mata boneka, saya menyusuri jalanan menuju tempat kost teman dekat dari teman sekamarku. Satu-satunya yang punya kemungkinan besar mengetahui tentang teman sekamarku dan mantan suaminya itu.

“Eh, kok tumben kemari? Ada apa?” teman dekat, teman sekampung dari teman sekamarku menyambut ala kadarnya waktu aku melongokan mukaku ke kamar kostnya. Ia tengah menyetrika waktu itu.

“Gini lho Mar, kau tau tidak tentang mantan suami teman sekamarku?” kataku langsung to the point. Hari sudah hampir maghrib, jadi akan lebih baik jika saya langsung dapat informasi saja supaya bisa pulang tepat waktu dan kembali jadi teman sekamarku curhat tentang mantan suaminya.

“Lha? Kok tiba-tiba tanya itu?” teman dekat, teman sekampung dari teman sekamarku mengernyit, curiga atau mungkin malah bingung.

Malam itu dalam perjalanan pulang dari rumah teman dekat, teman sekampung dari teman sekamarku, saya jadi tambah bingung. Yang saya dapat hanya informasi bahwa Dika itu monster. Ha! Ini mungkin pengaruh dari saya belum makan malam, atau mungkin karena saya mau mens, kepala saya jadi kliyengan Cuma mikir kalo Dika itu monster. Monster macam apa? Monster yang melawan power ranger seperti film ketika saya SD itu? Monster semacam Rita Repulza? Monster beneran? Monster apa? Apa sih? Hah! Mbohhhh! Saya memutuskan untuk cepat pulang, bergegas harus makan, kliyengan saya makin menjadi-jadi.

Malam itu sehabis makan, saya istirahat sebentar. Teman sekamar saya menghampiri. Dan sudah dapat dipastikan akan curhat tentang makan suaminya.

“Seharusnya ia tak pernah melakukan itu, melakukan perselingkuhan itu, melakukan hal yang menyakiti hatiku, dan dia tahu betul itu pasti menyakiti hatiku”

“Memangnya kenapa dia sampai tega begitu?” kataku, tapi kali ini saya benar-benar ingin tahu. Tidak seperti pas di awal-awal dia jadi teman sekamarku, saya hanya bertanya sambil lalu.

“Saya nggak tahu” katanya lagi lirih.

“Semua ada sebabnya, nggak mungkin begitu saja terjadi”

Ia kembali menggelengkan kepalanya. Kemudian mengulang ceritanya sejak awal. Bahwa ia diselingkuhi. Disakiti. Dizalimi. Saya geleng-geleng kepala. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Tidak hanya dia yang edan, saya juga bisa ikutan edan dengar curhat dia bermalam-malam lamanya.

“Ayolah, cerita sama saya, Monster apa yang kamu maksud?” kata saya mendesak teman sekampung dari teman sekamar saya di hari berikutnya.

“Hih, begidik saya kalo inget itu. Udah sih kamu jangan nanya-nanya mulu” kata dia sembari begidik.

“Tapi aku pengen tahu, janji deh kalo kamu cerita semua, saya nggak akan ganggu-ganggu kamu lagi” kali ini muka saya pasang memelas.

Tapi tetap tak ada informasi yang berharga. Rasanya saya memang nggak bakat jadi detektif. Satu-satunya jalan mungkin saya akan pindah kamar kost. Tapi itu artinya saya tega sekali sama teman sekamar saya itu, meninggalkan dia sendirian. Tapi dari pada saya edan? Ya tho!

Suatu malam, sambil meluruskan tulang-tulang saya yang rasanya remuk seharian tadi mburuh, saya dan teman sekamar saya nonton televisi. Dikamar yang sempit ini, kita harus nonton televisi sampai mentok tembok supaya jarak antara mata dan layar televisi tidak terlalu dekat. Maka kami berdua duduk menempelkan punggung pada tembok. Kaki-kaki kami yang bengkak diluruskan. Saya balurkan balsam panas sepanjang betis. Sementara teman sekamar saya memegang remote sambil mencari chanel yang ia sukai.

Tiba-tiba ia berhenti di acara berita yang ditayangkan sekilas sebelum kembali ke acara selanjutnya di satu stasiun televisi. Disitu diberitakan tentang seorang laki-laki yang dibakar sampai mati oleh istrinya dikarenakan diketahui bahwa laki-laki itu berselingkuh. Sebelum dibakar, laki-laki itu dipukul dengan gas 3 kilogram sampai kepalanya pecah. Ketika diwawancara, si wanita yang mengaku sebagai istrinya itu bilang bahwa suaminya itu memang bejad tak ketulungan. Sudah pengangguran, tidak memberi nafkah, tapi menuntut selalu makan enak. Istrinya lah yang bekerja. Perilakunya kasar. Sering melakukan kekasaran pada istrinya itu. Entah ditampar, dipukul hingga matanya lebam, hingga dibanting. Terakhir, si suami minta uang pada istrinya entah untuk alasan apa. Ternyata dari tetangganya, si istri tahu, uang itu digunakannya untuk membelikan berbagai macam barang-barang untuk perempuan muda desa sebelah.

Saya begidik. Mana mungkin ada laki-laki semacam itu. Tapi nyatanya ternyata memang ada. Dan sedang ditayangkan beritanya saat itu juga didepan mata saya. Teman sekamar saya tanpa mendengarkan komentar saya tiba-tiba tertawa. Tertawa penuh kemenangan. Tak cukup satu kata “Alhamdulillah”, tapi juga sampai sujud syukur seperti ABG-ABG yang lolos seleksi Idol. Saya bingung, jangan-jangan inilah awal dari edan-nya teman sekamar saya itu karena diselingkuhi.

Teman saya masih tertawa terbahak-bahak. Mukanya yang selama ini selalu muram hilang sama sekali. Saya bahkan melihatnya lebih cantik dari biasanya. Saya melirik televisi lagi. Disitu dituliskan inisial korban adalah DK.

“Dika Kurniawan” kata temanku, tapi kali ini lantang, tidak lagi lirih.

“Ha? Mantan suamimu? Bisa jadi kan orang lain?” kataku mengelak. Jelas-jelas mukanya gosong begitu, mana bisa dikenali. Barangkali inisial namanya Cuma kebetulan semata.

“Aku masih ingat perempuan itu, perempuan tadi yang diwawancara, itu adalah selingkuhan suamiku dulu, ha ha ha” Dia tertawa lagi.

Saya bengong. Si Monster sudah mati oleh monster yang lain. Ini mungkin jawaban keadilan atas komat kamitnya teman saya beribu ribu malam pada Tuhan. Atau mungkin Cuma kebetulan. Persetan dengan hubungan sebab akibat. Saya tak harus jadi detective lagi sekarang, saya rasa curhat teman saya akan berhenti mulai malam ini. Saya tak harus pindah kost lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline