Di Jantung kota Wonosobo yang indah, terdapat Desa Buntu yang tenang---tempat di mana toleransi beragama berada pada titik tertinggi. Hal-hal yang kita anggap tabu seperti Pernikahan Antar Agama dan satu rumah antar agama disana dianggap sebagai hal yang normal dan patuh di contohkan. Ritme kehidupan disana selaras dengan rimbunnya tanaman hijau yang mengelilinginya.
Untuk memahami Dinamika yang membuat Desa Buntu menjadi Desa Buntu yang kita kenal sekarang, kita perlu mencari tahu secara dalam.bedasarkan wawancara-wawancara saya terhadap penduduk, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui Sejarah desa mereka. Salah satu narasumber saya adalah seorang warga lansia. Beliau adalah "Mboh Raharjo", Janda dari Pak Raharjo dan ibu dari Tri Raharjo. Dia dan keluarganya adalah salah satu dari 86 keluarga Katolik di Desa Buntu.
"Saya tidak tahu, emang sudah seperti ini sejak saya lahir. '' Jawaban beliau dan setiap penduduk desa yang saya wawancarai. Saya dan salah satu warga yang saya wawancara setuju dengan konklusi bahwa Mereka berawal dari sebuah komunitas kaya keberagaman yang memutuskan untuk bersatu. Beliau pun lanjut, menyatakan "sebesar-besar nya konflik eksternal atau internal, keberagaman dan solidaritas dalam keberagaman adalah hal yang perlu dipertahankan".
Pernyataan beliau bisa dikaitkan dengan salah satu teori komunitas Robert M. MacIver yaitu beliau menekankan pentingnya integrasi sosial dalam memahami keberadaan dan dinamika komunitas. Integrasi sosial mengacu pada tingkat kesatuan dan solidaritas di antara anggota komunitas, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepercayaan, norma-norma sosial, dan interaksi sosial.
Pernyataan beliau juga terbukti pada aktivitas pertama kita disana yaitu pawai. Yang mengejutkan untuk saya dan teman-teman angkatan saya adalah kami menjadi bagian dari pawai yang berjalan bersama barongsai mengelilingi sebagian satu desa. Aku, dan 3 teman angkatan ku diberi kesempatan emas untuk berbaris di paling depan agar kita bisa memegang spanduk sekolah kami. kami tersenyum, melambai, mengucapkan halo dan selamat pagi kepada semua penduduk yang kami lewati dan mereka pun membalas kita balik
Ada 2 hal menarik dalam pawai ini, yang menjadi bukti atas ke solidaritas dan kebersamaan mereka. Pertama adalah Barongsai dan liong dalam rangka perayaan tahun baru imlek. para dalang-dalang barongsai dan liong berasal dari latar belankang yang beda beda dari sudut agama, etnis, umur, dll. Meskipun itu dan waktu latihan yang singkat, mereka bekerja sama dan berkoordinasi dengan sangat baik.
Kedua, ada Geng Motor Doyong. Geng motor doyong adalah geng motor desa buntu antar generasi yang sudah turun menurun dengan anggota termuda berusia awal dua puluhan sedangkan yang tertua berusia awal enam puluhan. karena itu geng tersebut resmi dinamakan Doyong. Doyong dalam bahasa jawa artinya condong/hampir roboh karena motor-motor mereka yang sudah lama dipakai sampai terlihat seperti motor rusak karna sudah diwariskan secara turun temurun.
Kedua contoh ini bisa di kaitkan dengan teori komunitas Maclever tentang partisipasi, yaitu beliau menekankan pentingnya partisipasi aktif dari anggota komunitas dalam proses pembentukan dan pemeliharaan komunitas. Partisipasi ini dapat meliputi kontribusi dalam pengambilan keputusan, penerapan norma-norma sosial, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial atau budaya komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H