Lihat ke Halaman Asli

Ziarah: Sebuah Perjalanan

Diperbarui: 29 Mei 2017   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun lalu, saat saya sedang melihat-lihat katalog film yang tayang di JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival), saya melawatkan sebuah film yang sangat bagus: Ziarah. Beruntung sekali, ternyata semenjak minggu lalu, Ziarah tayang di berbagai bioskop di Indonesia. Saya pun langsung memesan tiket untuk menonton Ziarah di bioskop salah satu mall Yogyakarta. Saya agak terkejut kala itu, melihat banyak sekali peminat film ini. Saya pikir, saya bisa bahagia karena apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia yang tidak dibintangi artis-artis terkemuka atau Youtuber ternyata sudah lebih baik. Bahkan, karena ramainya bioskop, saya sampai duduk terpisah dari teman saya. Tapi tidak apa-apa, saya pikir, demi semakin berkualitasnya film Indonesia, saya rela -- iya, saya berlebihan. Hehehe.

Sebentar, saya belum mau langsung bicara tentang filmnya.

Saya pikir, dengan adanya kedekatan latar antara saya dan penonton-penonton lain di bioskop dengan latar cerita, para penonton lain bisa merasa lebih memaknai dan mendalami film Ziarah... sayangnya tidak. Sepanjang film, orang-orang di depan saya ngobrol, di samping kanan dan kiri saya ngobrol, di belakang saya juga ngobrol. Untung saya masih cukup tau diri untuk tidak melempar mereka pake popcorn (karena sebetulnya saya tidak punya popcorn, sih). Setelah film berakhir, lampu dinyalakan, dan credit title mulai ditayangkan, mbak-mbak sebelah saya langsung nyerocos, "ih apaan sih... film apa sih barusan?"

Ya bagaimana mau ngerti, sepanjang film dia asik ngobrol dan kunyah-kunyah popcorn. Meskipun begitu, respon tersebut tidak cuma datang dari mbak-mbak di sebelah kanan saya. Saya juga mendengar respon serupa dari beberapa orang yang keluar ruangan dengan saya. Bagi saya, mbak-mbak tadi maupun orang-orang lain yang merespon dengan cara tadi tidak sepenuhnya salah. Ziarah adalah film dengan pace yang sangat lambat. Jadi, bagi anda yang suka dengan film-film yang pace-nya cepat, dinamis, dramatik, dan tidak banyak 'sunyi'-nya, maka jangan tonton film ini.

Ziarah bercerita tentang Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang mencari makam suaminya yang meninggal akibat Agresi Militer Belanda yang kedua. Jangan harap pencariannya akan penuh canda tawa atau dramatis seperti Rangga mencari Cinta atau Hatchi mencari ibunya. Mbah Sri yang usianya 95 tahun (dan memang diperankan oleh simbah berusia 95 tahun) hanya terus berjalan mencari makam suaminya dalam diam. Ide ceritanya hanya itu.

Bagi saya, menonton Ziarah seperti membaca buku. Ada banyak kesunyian yang bisa saya nikmati, kesunyian yang membawa saya merasakan kegamangan dan kekosongan yang dirasakan oleh Mbah Sri. Selain itu, Ziarah memberikan saya ruang untuk menikmati, menghayati, bahkan merenungkan pesan yang ingin disampaikan oleh filmnya. Itulah kenapa saya menikmati ke-slow pace-an film ini. Seringkali, ketika saya menonton film yang dramatik dan dinamis, semua ekspresi yang saya timbulkan baik tawa atau air mata, semuanya datang dari sesuatu yang sifatnya tiba-tiba. Sedangkan di Ziarah, saya belajar bersama dengan Mbah Sri untuk cukup bijak dalam bersabar, cukup bijak dalam bahagia, ataupun bersedih.

Saya rasa, pengalaman ini tidak bisa dipaksakan. Kehilangan tentunya meninggalkan luka yang berbeda-beda bagi setiap orang. Oleh karena itu, pengalaman saya menonton Ziarah tentunya akan berbeda dengan orang-orang lain, dan saya kira itu bukan hal yang salah. Semua orang mengalami kehilangan dan tentunya ingin mencari jawaban atas kehilangan-kehilangan tersebut. Bagi Mbah Sri, kehilangan mengajarkan ia untuk ikhlas, untuk tabah, dan bagi orang lain bisa jadi berbeda.

Terlepas dari ceritanya yang sarat makna, gambar-gambar yang disajikan dalam Ziarah juga indah untuk dilihat. Shot-shotnya memanjakan mata meskipun elemen yang ada di dalamnya sangat membumi, desa, sungai, bukit, ayam-ayam -- sangat Indonesia, sangat lokal. Lokalitas ini pula yang juga saya rindukan dari film-film Indonesia, terakhir yang saya lihat mungkin adalah film Siti dan film-film pendek lokal di JAFF. Bahasa yang digunakan dalam film ini juga adalah Bahasa Jawa, namun tetap ada subtitle untuk Bahasa Indonesia, jadi tidak perlu khawatir. Omong-omong, ada Hanung Bramantyo dan Ismael Basbeth di dalam film ini. Jadi apa? Silahkan ditonton sendiri, hihihi.

Secara keseluruhan, film ini indah untuk saya. Selain pengambilan gambarnya yang indah, ceritanya yang kuat namun tidak lepas dari kehidupan sehari-hari, serta lokalitas yang amat kental membuat Ziarah menjadi film yang layak untuk, tidak hanya ditonton, tetapi juga dihayati. Tidak heran jika film Ziarah menyabet beberapa penghargaan (mohon dicari sendiri ya penghargaannya apa saja), karena memang film ini indah untuk dinikmati.

Akhir kata, apabila anda memiliki waktu dan menyukai film-film yang sarat makna dan memiliki pace yang lambat, sempatkanlah waktu untuk menonton film Ziarah sebelum film ini turun dari bioskop. Dan selamat memulai perjalanan berziarah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline