"Garuda di dadaku, Harimau di perutku"....
Sebuah kelakar yang tepat untuk merepresentasikan kondisi Perbatasan saat ini. karena tanpa kita sadari Nasionalisme saudara kita yang ada di perbatasan tergadaikan pada negeri seberang. Jelas hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah masih relevan jika kita melabelkan Perbatasan sebagai beranda Negara. atau malah sebaliknya, Perbatasan sebagai "Keranda" Indonesia.
Di perbatasan, setiap hari Senin masih kita dengarkan anak-anak sekolah dengan lantangnya menyanyikan lagu Indonesia Raya sembari memberi hormat dengan penuh hikmat kepada Sang Merah Putih. di saat mereka terus berusaha untuk menjaga nasionalismenya, di saat bersamaan juga mereka dipaksa oleh keadaan untuk bergantung kepada Negeri seberang.
Di Negeri orang tersebut, ditawarkan banyak kemudahan. baik akses ekonomi maupun akses lainnya. Contoh kasus, seperti yang terjadi di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Secara geografis, Krayan dikelilingi oleh pegunungan sehingga satu-satunya akses untuk menuju daerah tersebut adalah menggunakan pesawat perintis. Daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia bagian Serawak itu memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.150.438 jiwa. Jadi, bisa Anda bayangkan, warga Indonesia sebanyak itu hidupnya bergantung kepada Negeri orang.
Pemerintah Daerah dalam hal ini tidaklah tinggal diam. Namun, skemanya saja yang masih kurang efektif sehingga masih menimbulkan disparitas di daerah tersebut. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, masyarakat Krayan masih sangat mengandalkan barang-barang dari Malaysia. Selain karena akses yang mudah, dari sisi biaya juga jauh lebih ekonomis. berbanding terbalik ketika mereka mengharapkan barang kebutuhan dari Indonesia.
Perkara tersebut jelas berimplikasi pada nasionalisme yang terus mereka coba jaga. Namun, di sisi lain mereka juga harus realistis melihat keadaan. sehingga jangan salahkan saudara kita yang ada di perbatasan, jika ada dari mereka lebih memilih untuk eksodus ke Negara seberang.
Sebenarnya Pemerintah sudah sangat paham dengan "ancaman" yang ada di perbatasan. Hal tersebut dapat kita lihat pada pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP - RI) pada masa jabatan presiden sebelumnya. Namun, sejauh ini peran dari BNPP sendiri belumlah maksimal. Sebab, ketika kita menerjemahkan "Pengelola" itu harusnya badan tersebut dapat bertindak sebagai "eksekutor", namun pada praktiknya BPPN hanyalah sebatas "koordinator" saja. Maka dari itu, harus ada skema baru yang dapat memotret kondisi perbatasan secara utuh.
Kemerdekaan masih menjadi "Elegi Orang Perbatasan" hingga saat ini. Oleh karena itu kerja Nyata harus dilakukan hingga ke Beranda Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H