Lihat ke Halaman Asli

Mas

yesterday afternoon a writer, working for my country, a writer, a reader, all views of my writing are personal

Gizi Ibu Hamil, Memutus Siklus Lingkaran Malnutrisi Dimulai dari Remaja

Diperbarui: 31 Januari 2022   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Motor Gizi (Mozi) Masagi (CANDRA YANUARSYAH/Antarafoto via kompas.com)

Ketika kita berbicara tentang kekurangan gizi, kita sering memikirkan seorang anak kecil yang tidak cukup makan. Namun, kenyataan di Indonesia lebih kompleks: remaja juga menghadapi krisis gizi dan tiga beban masalah gizi sekaligus atau triple burden.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes),beban ini terdiri dari permasalahan gizi kurang seperti stunting dan kurus (wasting); gizi lebih seperti kegemukan (obesitas); serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Stunting sendiri adalah kondisi gangguan pertumbuhan pada anak, yang terlihat dari tinggi badan yang di bawah standar, akibat masalah kurang gizi kronis.

Secara garis besar, untuk masalah gizi seperti stunting, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara di Asia Tenggara, meskipun perbaikan mulai terlihat. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia menurun dari 36,8 persen pada 2007 menjadi 27,7 persen pada 2019, menurut Riskesdas dan Studi Status Gizi Balita di Indonesia yang dibuat oleh Kemenkes. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) dan wasting pun mengalami penurunan.

Kemenkes juga mencatat, prevalensi kegemukan pada anak balita menurun dari 14 persen pada tahun 2010 menjadi 8,04 persen pada tahun 2018. 

Akan tetapi, prevalensi obesitas di atas 18 tahun justru terus beranjak naik dari 10,5 persen pada tahun 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018. 

Proporsi anemia pada ibu hamil meningkat pula dari 37,1 persen pada tahun 2013 menjadi 48,9 persen pada 2018, menurut Riskesdas. Artinya, hampir setengah dari seluruh ibu hamil di Indonesia menderita anemia dua tahun yang lalu.

Masalah gizi yang dihadapi bukanlah suatu hal yang langka. Di sisi ekstrim yang berseberangan, hampir seluruh penduduk (95,5 persen) berusia di atas 5 tahun tidak memenuhi porsi konsumsi buah dan sayur harian yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) dalam seminggu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018. Menurut riset tersebut, konsumsi penduduk dikategorikan kurang apabila mereka mengonsumsi kurang dari 5 porsi sayur dan/atau buah per hari, atau setara 250 gram sayur dan 150 gram buah.

Ini terlihat pula di alokasi jumlah Pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan minuman jadi (processed food) lebih tinggi sekitar 3 kali lipat daripada padi-padian per Maret 2020, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengeluaran ini juga lebih tinggi sekitar 4 kali lipat daripada sayur-sayuran ataupun ikan, udang cumi, dan kerang.

Padahal, pembekalan nutrisi kepada generasi penerus menjadi genting mengingat Indonesia sedang mengalami masa bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibanding jumlah penduduk usia tidak produktif. 

Generasi Z, atau sebutan untuk penduduk kelahiran tahun 1997 hingga 2012, mendominasi jumlah penduduk pada 2020 dengan 74,93 juta atau lebih dari seperempat total penduduk 270,20 juta jiwa, berdasarkan sensus penduduk BPS per September 2020. 

Di sisi lain, generasi yang lebih muda, atau kelahiran 2013 ke atas, yang disebut oleh BPS sebagai Post-Generasi Z, juga mengikuti dengan jumlah 29,17 juta jiwa di tahun 2020.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline