Lihat ke Halaman Asli

Mas

yesterday afternoon a writer, working for my country, a writer, a reader, all views of my writing are personal

Bondan Winarno Inspirasi Jurnalisme Investigasi

Diperbarui: 2 Januari 2022   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://blog.tempoinstitute.com/

Presenter yang juga pemerhati kuliner Nusantara, Bondan Haryo Winarno tutup usia pada Rabu (29/11/2017) pagi sekitar pukul 09.05 WIB di usia 67 tahun. Ia sangat akrab dan menjadi terkenal karena jargonnya "Maknyus" saat almarhum mencicipi kuliner. Istilah "maknyus" dari Bondan tak anya ia sebut dalam setiap program di televisi. Almarhum juga membuat beberapa buku dengan judul yang mengandung istilah tersebut. Salah satunya, 100 Maknyus! Makanan Tradisional Indonesia. 

Artikel Penulis Spesialis Tanpa Gelar Akademik, Tantangan dan Keuntungannya karya Kompasianer Walentina Waluyanti menginspirasi dan rasa syukur saya dapat mengenal dan berdiskusi dengan almarhum. Sayangnya, saat itu belum era digital seperti saat sekarang, bertemu dengan sosok yang diidolakan langsung swafoto. Namun, cara ia memegang teguh prinsip untuk tidak melacurkan profesi kewartawanan itulah yang menular ke dalam tubuh saya di kemudian hari.

Sejatinya, ia adalah seorang jurnalis investigasi. Yang ia dalami bukan makanan tradisional Indonesia. Ada dua karya jurnalistik yang telah dibukukan dan dikategorikan sebagai karya Jurnalistik Investigatif. Yang pertama terbit awal 1980-an, berjudul Tampomas II: Neraka di Laut Jawa sebuah laporan tentang tenggelamnya kapal penumpang Tanpomas II di Selat Makassar. Buku kedua terbit pada Juli 1997, berjudul Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi.

Pengakuan itu sebetulnya justru membebani saya. Soalnya, antara tahun 1987-2001 saya sebenarnya sedang jeda atau absen menjadi wartawan. Dalam periode itu saya menjalankan bisnis, agar dapat membiayai anak yang belajar di luar negeri. Dengan gaji wartawan, tidak mungkin saya mampu menyekolahkan anak ke perguruan tinggi pilihan. Saya memegang teguh prinsip untuk tidak melacurkan profesi kewartawanan. Keadaan itu berubah pada awal 1997. Kasus Bre-X, perusahaan Kanada yang dikabarkan menemukan cadangan emas dalam jumlah luar biasa di Kalimantan Timur, mulai menampilkan sisi buruknya. KKN yang melibatkan keluarga dan kroni Cendana mulai tercium oleh masyarakat. Pada saat yang sama, mulai pula muncul kecurigaan terhadap kebenaran klaim penemuan cadangan emas berjumlah besar itu. Kedua hal itu, dengan sendirinya, menyeret isu politik ke dalamnya. Beberapa politisi Indonesia sudah mulai bersuara lantang dan sumbang tentang Bre-X.

Untuk menghindari konfrontasi frontal dengan Amien Rais yang ketika itu sata anggap memberi pandangan yang menyesatkan tentang pengelolaan sektor pertambangan, saya menulis sebuah artikel opini untuk The Asian Wall Street Journal. Munculnya tulisan itu di media internasional bergengsi membuat saya serta-merta dianggap "ahli" soal pertambangan. Mendadak saya diundang ke berbagai forum untuk mengemukakan pandangan saya tentang Bre-X. Instant recognition itu sebetulnya sangat menguntungkan, karena tiba-tiba saya mempunyai jaringan sumber berita di lingkaran yang paling eksklusif.

Maka, ketika tiba-tiba saya membaca berita bahwa Michael de Guzman, seorang ahli eksplorasi Bre-X, dinyatakan bunuh diri dengan melompat dari helikopter yang membawanya kembali ke kamp di Busang, kecurigaan saya langsung bekerja. De Guzman justru orang yang paling saya curigai telah melakukan pemalsuan core sample. Bunuh diri adalah cara yang paling mudah untuk menghapus jejak.

Tiga hari kemudian, muncul lagi berita baru. Mayat De Guzman ditemukan. Deskripsi tentang penemuan mayat itu malah menambah kecurigaan saya. Professional skepticism terhadap skenario bunuh diri itu justru menguat. Tanpa melihat mayat itu, dan hanya dengan melakukan deduksi terhadap berita koran, saya berani menyimpulkan bahwa mayat itu bukanlah De Guzman. Lalu, bagaimana membuktikannya?

Itulah kutipan kata pengantar Bondan Winarno dalam buku Jurnalisme Investigasi, Septiawan Santana Kurnia, tahun 2003

Di dunia dengan lebih banyak interpretasi tentang kebenaran, ada kebutuhan untuk jurnalisme investigasi gigih yang tidak takut menjadi musuh dalam mempertanyakan kebenaran di setiap kesempatan. Jurnalisme nvestigasi memang mahal, memakan waktu, berisiko dan sulit, dan terkadang mengakibatkan ancaman hukum, pelecehan pribadi terhadap jurnalis--atau tidak ada cerita yang dapat dipublikasikan sama sekali.

Jurnalisme Investigasi berarti pengungkapan hal-hal yang disembunyikan baik secara sengaja oleh seseorang yang memiliki posisi berkuasa, atau secara tidak sengaja, di balik sekumpulan fakta dan keadaan yang kacau-dan analisis serta pengungkapan semua fakta yang relevan kepada publik. Dengan cara ini jurnalisme investigatif secara krusial berkontribusi pada kebebasan berekspresi dan pengembangan media.

Pada saat ekosistem komunikasi meluas, jurnalisme saat ini perlu secara jelas menunjukkan nilai tambah utamanya bagi kepentingan publik. Dalam terang benderang, cerita investigasi yang kredibel, seperti Bondan Winarno lakukan, semakin penting untuk konfirmasi publik tentang pentingnya kerja jurnalistik profesional di tahun-tahun mendatang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline