Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Publik Menolak Pemimpin Poligami

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini muncul pemberitaan di beberapa media online yang tentang fenomena hestek #PemimpinJanganPoligami dan #TolakPartaiPoligami. Dalam beberapa hari hestek tersebut menjadi Trending Topic Indonesia (TTI) di Twitter. Bahkan #TolakPartaiPoligami sempat menembus Trending Topic Worldwide (TTWW) dan disuarakan oleh banyak pengguna twitter. Apakah ini menjadi satu bukti bahwa masyarakat kita memang cenderung tidak suka dan menolak Pemimpin yang melakukan poligami.

Mari sejenak kita memutar memori ke beberapa tahun lalu. Tentu kita masih ingat fenomena poligami yang dilakukan oleh Ustad AA Gym. Ustad A’a Gym, yang yang dikenal dengan Managemen Qalbu-nya, banyak menulis buku, setiap hari masuk TV, dakwahnya hampir diterima berbagai kalangan bahkan instansi pemerintahan. Namun ketika beliau memutuskan untuk menikah lagi dengan janda muda dan cantik, Alfarini Eridani, kondisi menjadi berubah. Sehari setelah beliau mengumumkan poligaminya, mulai terjadi boikot lewat SMS oleh publik. Kegiatan dakwahnya mulai sepi peminat dan sekarang namanya sudah jarang terdengar. Publik seperti marah dan “menolak” ceramahnya. Pengajiannya perlahan kian sepi dan bahkan setelah itu nama A’a Gym hilang dari publik. (sumber: Wikipedia).

Contoh berikutnya adalah ketika Anis Mata, salah satu Pemimpin Partai Islam di Indonesia juga mempublikasikan bahwa dirinya juga melakukan Poligami dengan seorang wanita cantik asal Hungaria. Pemimpin tersebut kedapatan sedang berjalan-jalan dengan anak-anak dan ditemani istri mudanya. Tidak terlihat keberadaan istri pertama dalam foto yang sempat dipublish di salah satu media online besar Indonesia. Sontak fenomena tersebut menimbulkan gejolak dan Pro-Kontra di kalangan Politisi dan masyarakat umum.

Meskipun ada yang bilang, poligami tidak dilarang agama, Nabi juga poligami dan istri juga menyetujui, publik tetap menolak. Dalam pandangan publik, mereka senantiasa mengharapkan sosok ustad atau pemimpin ideal, tidak banyak melakukan kedosaan dan dapat memberikan keteladanan. Rakyat dan konstitusi Amerika yang sangat liberal dalam segala hal termasuk kebebasan seksual sekalipun mengecam bila itu dilakukan oleh para pimpinannya. Presiden Amerika dari Partai Demokrat hanya berciuman dengan sekretarisnya, ia disidang publik dan hampir saja dilakukan pemecatan. Presiden bagi rakyat Amerika adalah simbol dari negaranya, dia harus ideal tidak boleh ada cacat moral meskipun di kalangan umum adalah kewajaran.

Dengan kata lain di mata rakyat Indonesia, para pemimpin publik yang kawin lebih dari satu adalah cacat moral diukur dari sosok mereka sebagai pemimpin, bukan rakyat biasa. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu mengendalikan dorongan syahwatnya dalam melihat wanita cantik. Bila mereka beranggapan dan menjadikan perilaku Nabi sebagai pijakan melakukan poligami, tentu kita harus bertanya-tanya lagi karena motif dan realitas yang mereka lakukan sangat berbeda dengan poligami Nabi.

Allah secara umumtidak melarang orang menikah lebih dari satu, dengan catatan poligami dijalankan dalam kondisi-kondisi yang spesifik, tapi itu tidak berlaku bagi seorang pemimpin atau pejabat tinggi. Memang dalam Al-Quran, Allah tidak menulis pengecualian itu tapi dengan akal sehat dapat diketahui kemudhorotan atau dampak negatifnya seorang pemimpin berpoligami. Fenomena seorang pemimpin yang gemar mengkoleksi wanita-wanita cantik sebagai istrinya, hanya terjadi di pemerintahan yang bersifat kerajaan. Dan kita semua tahu sistem itu telah ditinggalkan oleh orang-orang yang menggunakan akalnya karena terbukti tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Kenapa publik Indonesia yang juga mayoritas Islam tidak menyukai pemimpinnya menikah lebih dari satu dengan wanita-wanita cantik (kasus-kasu di atas). Secara tinjauan psikologis ada beberapa hal dan sudah berada di ambang bawah sadar di antaranya adalah:


  1. Pernikahan dipandang publik sebagai sesuatu yang membahagiakan dan bersifat individual atau pribadi. Dalam perkawinan ada waktu yang harus disediakan untuk istri dan anak-anak, juga ada tuntutan membahagiakan baik dari aspek lahir dan batin (seperti: waktu, perhatian, harta dan sebagainya). Seorang pemimpin kawin lebih dari satu dapat melahirkan kesan bahwa pemimpin ini sangat egois, lebih mengutamakan kesenangan pribadi daripada memperhatikan nasib rakyatnya. Coba kita renungkan jika ada kehidupan masyarakat yang miskin, serba memprihatinkan seperti susah mencari lapangan kerja, kesejahteraan belum tercukupi, tidur di kolong jembatan atau gerobak sampah tiba-tiba pemimpinnya kawin lagi dengan menampilkan kemewahan seperti: membeli rumah mewah, mobil-mobil untuk istri-istrinya atau bahkan arloji yang berharga puluhan juta,pasti hal itu akan menimbulkan kemarahan publik.
  2. Di mata publik pemimpin adalah penanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kemajuan bangsanya dan mereka sangat berharap dengan kepemimpinannya ada perubahan. Ketika pemimpinnya justru sering kawin dengan wanita cantik, ada ketakutan atau kekhawatiran nantinya pemimpinnya akan meninggalkan tanggungjawabnya, minimal kurang ada kesungguhan memperjuangkannya. Mereka takut pemimpinnya lebih sibuk dengan urusan keluarga dan istri-istrinya di bandingkan untuk mengurusi masalah rakyatnya.
  3. Harapan publik pemimpin itu teladan, ketika ada kondisi yang mengharuskan laki-laki kawin lebih dari satu, karena kemiskinan atau jumlah wanita jauh lebih besar dari laki-laki, publik berharap pemimpin menjadi tokoh yang menganjurkan kepada publik laki-laki agar menikah lebih dari satu dengan alasan kemaslahatan dan lain sebagainya. Sementara dia sendiri tidak perlu melakukan itu atau minimal setelah banyak penduduknya yang kawin lebih dari satu, baru ia menyusulnya. Seperti kasus keluarga Nabi yang tidak boleh memperoleh harta rampasan meskipun hasilnya sangat luar biasa besar. Ini wajar, bahkan di dalam masyarakat ada idiom tentang pemimpin bahwa “seorang pemimpin adalah orang yang berkorban lebih dulu tetapi merasakan kebahagiaan paling akhir”. Artinya, saat pemimpin menganjurkan melakukan pengorbanan maka dia adalah yang paling depan melaksanakan, tetapi ketika memperoleh kenikmatan dia adalah yang paling akhir merasakan setelah semua rakyatnya merasakan kenikmatan tersebut. Ketika ini tidak terjadi, dan sebaliknya para pemimpin berlomba cepat-cepatan kawin lagi, seperti yang sedang terjadi saat ini, akan timbul kekecewaan publik yang selama ini tersembunyi. Kekecewaan tersebut pada saatnya akan meledak.

Dari uraian di atas, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa secara umum, psikologi publik masih tidak setuju dan antipati terhadap seorang pemimpin yang melakukan poligami karena dianggap pemimpin tersebut egois (lebih mementingkan nafsu pribadi daripada memikirkan masalah rakyat). Sehingga menjadi wajar bila kedua Hashtag di atas, yaitu: #PemimpinJanganPoligami dan #TolakPartaiPoligami menjadi Trending Topic Indonesia bahkan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline