Lihat ke Halaman Asli

Tentang Kesepakatan

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Tentang kesepakatan

Ia membangun ego. Aku-mu tak melebur namun beriringan berjalan. manusia memang unik. Tak bisa sekali tepuk sekata seiya. Mula ia berawal dari kisah abil dan qabil. Berebut yang sudah ditentukan. Tak sepakat. Salah satu harus menyerahkan nyawa. Kisah epic. Menarik.

Soal kesepakatan pun butuh perbedaan. Kalo tak beda ngapain dibuat kesepakatan bukan? Apakah manusia mulai jengah dengan beda? Hingga tidak perlu untuk sepakat dalam tidak sepakat? Semua pada ingin seragam. Kok kayaknya gak asyik ya ? hahahah

Manusia bukan sejenis malaikat dan iblis. Yang dimana kedua makhluk itu sudah tidak perlu kata sepakat. Sebab tugas mereka sudah jelas. Dan kecenderungan mereka memang tak punya pilihan. Bandingkan manusia segala kemungkinan itu bisa terjadi. Mau baik bak malaikat pun bisa apalagi searogan iblis lewat. Hahaha…

Aku dan kamu sudah terlahir beda. Mari kita sepakat untuk minimal menjadi manusia baik. Supaya kita bisa hidup saling beriringan. Menjaga. Bukan saling jegal. Dan agama menjadi penawar untuk kesepakatan ini. Namun pelaku agama pula menjadi pembenaran laku penindasan kepada yang beda. Tentu saja bagiku agama adalah jalan tengah untuk setiap perbedaan. Bagi yang tidak sepakat pun silahkan. Kalo Kristen jadilah Kristen yang baik, kalo Hindu jadilah Hindu yang baik, Katolik jadilah katolik yang baik, Islam jadilah Islam yang baik dan seterusnya. Kepercayaan dedruhun pun monggo namun jalankan dengan baik. Tanpa perlu adanya penindasan akan kebernaran masing-masing individu.

Negeri init oh diciptakan oleh Tuhan juga bkan untuk dihuni sejenis makhluk aja bukan? Monoton kalo hidup harus seragam, apa bedanya dengan robot?  Sungguh semakin getir melihat perbedaan menjadi jurang penghancur kehidupan kita sehari-hari. Yang jelas sama seragamnya aja masih sering beda kok, apalagi yang jelas-jelas sejak lahir seragamnya dah beda.

Tak perlu kesaktian untuk hal ini. Belajar menghargai menjadi pondasi. Membangun rumah yang bernama Indonesia akan lebih baik bila kita memang berbeda. Bukan seragam. Siapa yang akan jadi batunya, semennyam pintunya, pasirnya dan lain seterusnya. Dari bahan-bahan tersebut akan bisa terbangun rumah yang kokoh dan indah bagi penghuni rumahnya bukan? Nah coba kita bayangkan jika bahannya semua sama mungkinkah akan terbentuk bangunan yang disebut rumah ?

Kini mari kembali menjadi fungsi dari perannya masing-masing. Bukan srobot peran pihak lain. Sungguh membayangkan Negeri ini menjadi mercusuar kebudayaan dunia merupakan keindahan tersendiri kelak. Semoga saja bisa terwujud.

Semua berperan semua musti dicatat. Jangan arogan. Sekian.

Saya masih juga ngawur.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline