Di setiap era, generasi muda mempunyai permasalahan tersendiri yang mewarnai perjuangan hidup mereka. Namun, bagi generasi milenial yang lahir antara awal tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, beban ekspektasi dan tanggung jawab hidup seolah datang bertubi-tubi. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, perubahan masyarakat yang dinamis, dan kondisi yang semakin keras. Dalam lingkungan yang kompetitif, generasi milenial harus menjalani masa dewasa dengan cara yang mungkin berbeda dari generasi sebelumnya.
Banyak generasi milenial saat ini justru merasa terjebak dalam kebingungan yang dikenal dengan istilah quarter-life crisis, ketika mereka berada pada puncak produktivitas. Kecemasan akan masa depan, ekspektasi masyarakat yang tinggi, dan tekanan untuk sukses secepatnya menjadi tantangan sehari-hari. Apakah kita akan melahirkan generasi emas yang penuh inovasi dan potensi? Atau apakah kita menyaksikan lahirnya generasi yang stres dan terbebani dengan ekspektasi?
Quarter-life crisis adalah masa ketika seseorang mengalami kebingungan dan kecemasan tentang arah hidupnya. Kondisi ini umumnya terjadi pada rentang usia 25 hingga 35 tahun. Pada masa ini, banyak milenial yang merasa tertekan karena berbagai tuntutan dan harapan dari lingkungan sekitar.
Berdasarkan survei terbaru, lebih dari 60% generasi milenial Indonesia melaporkan adanya perasaan tegang dan cemas mengenai masa depan mereka. Angka ini meningkat drastis sejak pandemi COVID-19 yang berdampak pada banyak elemen masyarakat, termasuk prospek kerja dan stabilitas perekonomian.
Ekspektasi sosial yang tinggi merupakan faktor utama terjadinya pemicu ini. Masyarakat seringkali memiliki standar kesuksesan yang kaku: harus memiliki karir bagus, rumah sendiri, mobil, menikah, dan memiliki anak pada usia tertentu. Belum lagi, media sosial yang kerap menampilkan kesuksesan orang lain membuat banyak milenial merasa tertinggal dan tidak cukup berhasil.
Tekanan karir merupakan beban tersendiri. Gelar sarjana yang dulunya bergengsi tampaknya menjadi kebutuhan minimum saat ini. Generasi milenial harus terus mengembangkan diri dengan memperoleh berbagai sertifikat dan mempelajari keterampilan baru. Sayangnya, hal ini tidak selalu menjamin pekerjaan yang stabil.
Pertanyaan seperti "Kapan nikah?", "Sudah punya tabungan untuk DP rumah?", atau "Masih ngekos?", selalu menjadi pertanyaan utama di setiap pertemuan keluarga. Tekanan untuk mencapai berbagai milestone kehidupan dalam waktu bersamaan sering membuat milenial merasa kewalahan.
Dampak dari krisis ini sangat nyata. Banyak milenial yang mengalami kelelahan mental, gangguan kecemasan, hingga depresi. Produktivitas kerja menurun, hubungan sosial terganggu, dan kesehatan fisik pun ikut terdampak. Beberapa memilih untuk sering berganti pekerjaan, sementara yang lain terjebak dalam pikiran negatif yang berkelanjutan.
Namun, ada hal positif yang mulai terlihat. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat di kalangan milenial. Mereka mulai berani mencari bantuan profesional dan bergabung dengan komunitas pendukung. Banyak yang mulai memahami bahwa wajar jika setiap orang memiliki tempo berbeda dalam mencapai tujuan hidupnya.
Perusahaan dan institusi juga mulai memberikan perhatian lebih pada kesejahteraan mental karyawannya. Program konseling, cuti mental, dan kebijakan kerja yang lebih fleksibel mulai diterapkan di berbagai tempat kerja. Ini menunjukkan adanya perubahan positif dalam memandang pentingnya keseimbangan hidup.
Yang paling penting, perlu ada perubahan cara pandang tentang kesuksesan. Tidak semua orang harus mengikuti jalur yang sama. Ada yang memilih menjadi wirausaha, ada yang fokus pada pengembangan diri, dan ada pula yang memutuskan untuk mengejar passion-nya meski berbeda dari ekspektasi umum.