Kasar menarik lengan orang alim lalu geramnya,"Aku seorang pejalan kaki. Bertegur sapa dengan iblis saat melewati jalanan penuh duri. Ia melihatku dalam terang matahari. Ia memujaku layaknya seorang nabi. Aku tidak berada dalam lorong derita seperti yang kau ucapkan. Di bawah benderang, aku melihat segalanya. Aku melihat kekejaman dari sebuah kekuatan yang tak terbantahkan. Aku menjadi saksi ketika berdiri di puncak gedung yang menjulang tinggi."
"Bila begitu, sesungguhnya engkau tumbuh dalam duri."
"Aku tidak peduli! Aku tak ingat lagi warna dan rasa yang bertempat dalam hati. Untuk kau pahami, Iblis telah aku ludahi."
"Kau berkisah padaku tentang keluarga yang kelaparan. Perawan yang ditelantarkan. Wanita yang terabaikan. Satu wajah yang berada dalam persimpangan. Seseorang berdiri didepanku setelah ia menelan dalam kekenyangan sementara ia menghirup napas kehidupan orang lain." Orang alim memandang Sanumerta dengan sorot mata menyayat hati.
"Aku berulang mendengarnya dari orang-orang yang berkata di atas mimbar. Pada setiap menara-menara yang bergantung pada kaki langit, orang banyak mengucapkan mantra dan puja puji, namun itu tentang diri mereka sendiri. Mereka yang mengaku sebagai kekasih."
"Aku adalah sang kekasih," kata sang alim dengan mata beralih.
Belati Sanumerta menjawabnya. Matahari masih bersinar terik ketika Sanumerta menanam orang alim di bawah pohon bidara.
Penjaga langit menggeliat dengan lidah membara. Memasung marah di bawah kelebat pedang mendesing prahara. Mereka menjadi saksi atas kematian orang dianggap sebagai manusia suci.
Sanumerta meringkik pongah. Telanjang belati membakar hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H