Lihat ke Halaman Asli

kibal

Petani

Cerpen: Ruang Hening

Diperbarui: 27 Mei 2020   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by. fuckyeahanarchistposters.tumblr.com

Tunggu dulu, sebelum kau terus menyerangku dengan pertanyaan mengapa aku akhir-akhir ini selalu menghindari orang-orang dan tidak suka berada ditempat-tempat ramai, sebelumnya kita tetap butuh bicara tapi dengan catatan musti lebih santai. 

Tidak seperti biasanya. Kalimat-kalimatku yang berlebihan dan emosimu yang kadang tak terkontrol.  

Kita mulai dengan hal-hal sederhana, tapi menurutku tak perlu lagi saling lempar pertanyaan tentang makanan kesukaan, hobi yang digemari, lebih memilih kopi susu atau hitam, dan sejenisnya. Terlalu basa-basi. 

Akupun akan berupaya menahan diri untuk berbicara tentang perkampungan masyarakat adat, lengan-lengan petani, nelayan yang membangunkan sampannya sebelum melaut, kepatuhan pekerja, dan atau perbedaan antara Marx dan Bakunin.

Anggap saja kita berada didalam cable car berkapasitas 6 orang, hendak menaiki puncak gunung Titlis di Swis pada suatu siang yang sepi pengunjung karena hari Minggu. Swis terkenal dengan masyarakat yang taat dalam ibadah. 

Di dalam hanya ada kita, berdua. Saling berhadapan dan masing-masing membelakangi jendela. Sesekali kamu menggumam dengan pemandangan di bawah sana. Pemukiman, hamparan rumput hijau lengkap dengan sapi-sapi, hingga tumpukan-tumpukan salju bak berlian di sepanjang pegunungan Alpen. 

Mungkin aku tak menghiraukannya, dan lebih memilih mengagumimu, seperti yang lalu-lalu. Seperti kataku, "tidak pernah ada waktu cukup saat bersamamu".

Atau suatu pagi di beranda rumah yang menghadap perbukitan hijau, matahari baru tampak setengah. Kamu duduk tepat disampingku lalu menuangkan teh. Disamping rumah ada sungai, coba resapi bunyi aliran sungai itu. Terdengar seperti suara anak-anak kecil sedang berlarian dan penuh kegirangan. 

Hmm, sungguh indah untuk memulai percakapan. Kuraih dan genggam jemarimu. Erat. kemudian berkata "kau adalah alasan kenapa aku musti mensyukuri hidup ini".  When The Children Cry mengalun. Pelan.

Eh, tapi tahan dulu, sebentar. Apakah aku pernah bercerita padamu tentang lagu When The Children Cry (1988) dan kenapa aku begitu menyukai liriknya ?. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline