Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang sangat hangat. Tahun ke tahun terdapat peningkatan pada fenomena kekerasan seksual, termasuk di Indonesia. Hampir setiap daerah di Indonesia terdapat kasus kekerasan seksual. Berdasarkan data yang di rilis oleh Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 kekerasan di ranah rumah tangga terdapat 6.480 kasus dengan bentuk kekerasan yang bereda-beda. Sekitar 30% merupakan kekerasan seksual yakni sebanyak 1.938 kasus.
Pencabulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, inses dan bentuk kekerasan seksual lainnya masih banyak terdapat banyak dalam ranah rumah tangga/relasi personal. Terdapat 215 Fenomena inses atau hubungan seksual antara lawan jenis yang masih memiliki hubungan darah. Meskipun pada tahun 2020 fenomena inses sudah menurun dari pada tahun 2019 namun kasus inses tetap harus menjadi perhatian penting karena korban dari inses akan mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan langsung dengan ayah ataupun keluarga sendiri. Kebanyakan kasus inses terungkap setelah korban mengalami inses berlangsung lama atau terjadi kehamilan yang tidak terduga.
Miris memang apabila mendengar kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah rumah tangga. Dimana pelaku kekerasan seksual ini merupakan saudara atau kerabat dekat yang korban anggap sebagai orang terpercaya bagi korban. Hal ini memperlihatkan pada khalayak bahwa rumah dan lingkup pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.
Membicarakan tentang maskulinitas pasti tidak akan terlepas dari gender. Gender dan jenis kelamin memiliki perbedaan meskipun sama-sama dalam lingkup antara perempuan dan laki-laki. Pembedaan laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari dua hal yakni Jenis kelamin yang dipengaruh secara biologis dan gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial seperti laki-laki harus kuat dan perempuan harus bersikap lemah lembut.
Apa itu maskulinitas? Menurut saya, maskulinitas merupakan bentuk konstruksi atau pengekspresian kelakian atau kejantanann yang dimiliki laki-laki. Maskulinitas menganggap nilai kekuatan, kehebatan, kepercayaan, kekuasaan dan kejantanan lainnya penting dan harus dimiliki laki-laki. Dalam berkehidupan sosial jika seorang laki-laki tidak memiliki sifat maskulinitas dan memiliki sifat sedikit feminim maka dianggap gagal sebagai laki-laki.
Maskulinitas bukanlah hal yang telah tercipta ketika laki-laki dilahirkan. Kebanyakan maskulinitas dipengaruhi adanya budaya atau tradisi yang menganggap bahwa laki-laki merupakan pemimpin sedangkan perempuan merupakan orang yang harus dipimpin. Perempuan hanya bisa menuruti apa yang diperintah oleh laki-laki. Laki-laki ditempatkan sebagai orang yang berkuasa , mendapat beban yang lebih berat dari pada perempan maka dari itu laki-laki dapat mendominasi dalam keluarga maupun masyarakat. Budaya patriarki yang merajalela dikalangan masyarakat melahirkan banyak ego maskulin, mereka bertindak sesuai dengan apa yang telah ada pada masyarakat. Laki-laki harus memiliki karakter yang unggul dari pada perempuan.
Menurut saya, sebab adanya ego maskulinitas akibat kebanyakan orang zaman dahulu yang megajarkan kepada anak laki-laki mereka untuk menjadi orang yang memiliki karakter yang kuat, tidak boleh nangis, berani, tegas, harus memiliki kekuasaan agar bisa mengendalikan sekitarnya, berpendidikan tinggi dan masih banyak lagi. Sedangkan perempuan selalu menjadi orang yang terlemah dalam keluarga karena sejak kecil para perempuan diajarkan untuk menjadi anak yang lemah lembut, anggun, harus pintar untuk melakukan segala bentuk pekerjaan rumah dan biasanya perempuan memiliki pendidikan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Tidak heran lagi perempuan selalu menjadi sasaran atau target tindak kekerasan seksual. jika perempuan menolak untuk melayani nafsu birahi laki-laki seringkali perempuan mendapat tindakan kekerasan lain seperti dipukul, diancam menggunakan senjata tajam, ditendang dan bahkan diancam untuk dibunuh. Tindakkan kekerasan seksual yang dilakuin oleh laki-laki terhadap perempuan merupakan salah satu wujud bentuk maskulinitas untuk menunjukkan bahwa pelaku tidak gagal menjadi laki-laki.
Apakah kekerasan seksual bisa dihentikan? Menurut saya, untuk menghentikan fenomena kekerasan seksual ini agak sulit karena butuh banyak kesadaran dari semua pihak baik induvidu, masyarakat dan negara. Adanya budaya patriarki mendongkrak naik kasus kekerasan seksual dan membuat sulitanya ditegakkan keadilan bagi perempuan. Banyaknya korban kekerasan seksual yang bersembunyi karena takut untuk berbicara kepada orang lain. Perempuan menggap sebuah kesucian merupakan hal yang sangat penting bagi perempuan. Jika kesucian itu hilang maka perempuan itu akan mengalami ketidakberdayaan dan merupakan suatu kehinaan bagi perempuan. Untuk perlindungan bagi korban kekerasan seksual menurut saya di Indonesia cukup maksimal dalam kinerja kerjanya, korban atau kerabat korban bisa melapor ke Komnas Perempuan secara online tanpa harus mendatangkan kantor Komnas Perempuan, hanya saja masih banyak korban yang takut untuk melapor dan menceritakan ke kerabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H