Lihat ke Halaman Asli

Membumikan Teologi Toleransi dalam Islam (BAGIAN KEDUA)

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengawali bagian ini saya akan mengutip ayat penting untuk membumikan kembali toleransi dalam Islam yang akhir-akhir ini terbajak oleh para ekstrimis Muslim sebagai berikut :” Janganlah engkau nista mereka yang berdoa kepada selain Allah, karena nanti mereka akan menista Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami buat bagi setiap golongan menganggap baik perbuatan mereka sendiri, kemudian kepada Tuhan jugalah mereka kembali. Ketika itu diberitahukan kepada mereka apa yang mereka perbuat”. (QS. 6:108)

Ayat di atas adalah menjadi landasan keempat yang menjadi prinsip penting dari teologi toleransi dalam Islam. Dari prinsip ini yang dituntut adalah sikap saling hormat-menghormati bukan saja untuk tujuan agar Islam dan sesembahannya tidak dinista orang lain, melainkanberhubungan dengan prinsip bahwa pengadilan dan hukuman adalah milik Allah semata, serta hanya Allah sendiri yang Maha Mengerti atas sebab dan motivasi perilaku yang sejalan dengan Islam atau tidak.

Seiring dengan sikap saling mengormati sebagai prinsip penting dalam teologi toleransi dalam Islam, biasanya frasa saling menghormati selalu dikaitkan dengan sikap saling tolong menolong. Frasa saling tolong menolong sebagai prinsip dengan amat cantik diungkapkan oleh tokoh sufi dari Persia bernaa Sa’di “Anak-anak Adam satu sama lainnya adalah anggota badan, dalam penciptanya mereka berasal dari satu substansi. Ketika dunia menimpakan penderitaan kepada salah satu anggotanya, para anggota lainnyapun akan merasa gelisah. Siapa yang tidak peduli dengan penderitaan orang lain, dia tidak berhak disebut sebagai manusia”.

Prinsip kelima atau yang terakhir dalam membumikan kembali teologi toleransi dalam Islam adalah dasar tasamuh (toleransi) yang tinggi itu sendiri dalam Islam. Berkaitan dengan frasa ini, Imam Bukhari dalam kitab Adab al-Mufrad meriwayatkan sebagai berikut: “Nabi ditanya; Agama yang manakah yang paling dicintai Allah Yang Mahas Kuasa?” Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanifiyah as samhah).

Hadits di atas selain memberikan penghargaan yang tinggi atas sikap toleran, ternyata juga menjelaskan bahwa semua manusia mempunyai agama fitrah “alamiah” sebagai spiritual dan moral yang ditiupkan langsung oleh Allah ke dalam jiwa manusia, maka di sinilah relevansi ungkapan bahwa pada dasarnya manusia cenderung kepada kebaikan fitrah sesama manusia. Dan kefitrahan kepada agama itu sendiri adalah bentuk pengejawantahan kongkrit dari setiap manusia dalam perjanjian primordial akan pengakuan Allah sebagai Tuhan bagi semua umat manusia yang kemudian diartikulasikan menurut ruang dan waktu serta bahasa dan tradisinya.

Selain adanya akar teologis bagi pengembangan umat yang lebih toleran, preseden sejarah yang dicontohkan Ali bin Abi Thalib ketika dirinya memberikan instruksi kepada Gubernur Malik al-Asytar an-Nakha’i, tentang perlunya memberikan penghormatan atas keyakinan yang berbeda dengan sang gubernur. Sikap menghargai yang diperintahkan Ali kepada Malik al-Asytar tidak saja pada agama, melainkan juga kepada hukum dan adat setempat sebelum Islam yang telah berurat berakar pada masyarakat Mesir. Imam Ali berkata : “ Malik! Janganlah menghapuskan adat kebiasaan baik yang telah diberlakukan oleh para pemimpin mereka, yang telah berjasa mengukuhkan kerukunan diantara mereka sehingga rakyat menjadi sejahtera. Jangan ciptakan adat kebiasaan baru yang mungkin merusak adat kebiasaan lama yang baik. Selain agar pahalanya tetap menjadi milik mereka yang merumuskannya dan kamu harus bertanggungjawab jika menghapuskannya. (Nahj al-Balagah 427-428).

Belakangan ini terasa sekali banyak peraktek, “ketidaktoleransian”terhadap apa saja yang berbeda, dan yang memprihatinkan peraktek dimaksud terjadi justru pada saat dunia sedang perlu merumuskan teologi civil society bersama sebagai rumah bersama. Perilaku tidak toleran diperlihatkan oleh sekelompok umat dan pemimpinnya dengan meng-atasnamakan kembali ajaran Islam dan syari’ah yang otentik. Tidak jarang harus menghancurkan rumah ibadah agama orang yang berbeda, melarang orang lain mendirikan rumah ibadah atau paling tidak mempersulit dengan berbagai alasan. Dan bahkan dengan sesama umat Islam yang berbeda sekte dan sudut pandanganya saja sebagian umat Islam akan tidak segan-segan menjudge sebagai kafir dan halal darahnya.

Untuk kontek Indonesia kekinian sebut saja misalnya kasus Manis Lor, yang mengakibatkan sekelompok Jemaah Ahmadiyah sampai saat ini menjdi kehilangan hak tempat tinggal, pengkafiran atas pengurus Jaringan Islam Liberal, Jamaah Kristen Ciketing yang terus dipersulit mendirikan rumah ibadah, sekalipun telah memenangkan persidangan di Mahkamah Agung, pengeboman dan pembunuhan dengan cara sadis oleh segerombolan preman berjubah dengan mengatasnamakan Islam, terasa semakin sulit untuk mengatakan bahwa Islam memiliki basis teologi toleransi yang kuat.

Terakhir kasus pembakaran pesantren pengikut Syiah di Madura, semua preseden tersebut, telah mewariskan kesengsaraan bagi kelompok lain yang berbeda, sehingga pertanyaan yang harus diajukan masih layakkan mereka disebut sebagai manusia apalagi sebagai manusia muslim jika hanya karena perbedaan harus menghakimi dan menghabisi hak hidup orang yang berbeda? Dan pertanyaan terakhir darimana hendak memulai mengaktualkan teologi toleransi dalam Islam ketika umatnya yang konon memiliki akar toleransi yang kuat justru terlihat bringas tidak berperikamanusiaan?

Mengakhiri tulisan ini, saya hendak menawarkan dua prasyarat penting bagi pembumian kembali teologi toleransi dalam Islam yakni : pertama, membangun kompromi atas teks-teks kitab suci yang terasa ambigu antara perintah dan atau mungkin anjuran bersikap pluralis toleran dengan sikap-sikap intoleran dan mengandung enigma kebencian terhadap yang lain (the others). Sebenarnya tawaran ini sudah banyak diungkapkan oleh pemikir lainnya, Abdulah an-Naim dalam “Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right and International Law”, antara lain dengan tawaran merujuk pada surat-surat Makiyah dengan meninggalkan konstruksi syariah historis periode Madinah, dan meninjau kembali konsep Nasikh Mansukh, namun yang belum terjawab adalah bagaimana melihat sifat ambiguitas teks itu sendiri baik dalam tradisi Makkah maupun periode Madinah.

Kedua, jika dan kelihatannya upaya ini tidak memuaskan, maka “agama” HAM bisa menjadiyakni upaya yang serius tidak sekedar mengkompromikan antara HAM dan atau hukum internasional lainnya dengan syari’ah, melainkan harus ada keberanian “Mendekonstruksi” Syari’ah itu sendiri untuk kemudian tunduk pada standar hukum internasional yangh universal, terutama terkait dengan kebebasan civil (civil liberties) dan Negara konstitusional yang menjadi rezim baru peradaban manusia dengan segala persoalannya. Allahu’alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline