Menurut survei yang dilakukan oleh Asia For Animal Coalition tahun 2020 hingga 2021 lalu, Indonesia menduduki peringkat pertama negara dengan konten penyiksaan hewan terbanyak di dunia. Tak heran, setiap hari kami dapat menemui video maupun foto penyiksaan hewan tak bersalah yang diunggah di media sosial. Laporan terkait kucing jalanan yang disiksa, anjing yang dibuang pemiliknya dalam kondisi memperihatinkan, maupun satwa liar yang dikuliti hidup-hidup, merupakan berita-berita familiar yang muncul di beranda. Salah satu spesies hewan yang paling sering mendapatkan perlakuan kejam adalah Felis catus, atau lebih akrab disebut sebagai kucing. Lantas mengapa Indonesia menjadi pusat penghasil konten penyiksaan hewan di dunia?
Kurangnya Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Hewan
Hewan sebagai sesama makhluk hidup pastinya punya hak-haknya tersendiri yang perlu dijaga. Berbeda dengan manusia yang hak dan kewajibannya lebih kompleks, kucing mungkin lebih sederhana. Walau begitu, hak-haknya hidupnya tetap perlu dilindungi dalam konstitusi. Dalam praktiknya, Indonesia hukum Indonesia sangat renggang terhadap pelaku penyiksaan hewan. Undang-undang yang ditetapkan sudah lama tidak diperbaharui, sedangkan kasus penyiksaan terhadap kucing terus meningkat.
Pastinya Indonesia juga memiliki undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan hewan. Kesejahteraan hewan diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2009, Pasal 66-67 Tentang Kesejahteraan Hewan. Kemudian kesejahteraan kucing dan anjing secara spesifik diatur pada pasal 302 KUHP tentang Penganiayaan Ringan pada hewan menyatakan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan.
Ke-1. barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya.
Ke-2. barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada dibawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) jika hewan kepunyaan yang bersalah, maka hewan dapat dirampas.
(4) percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
Selain itu, kesejahteraan kucing dan anjing juga diatur pada Pasal 406 ayat (2) KUHP tentang pembunuhan dan penghilangan hewan. Namun, hukum di Indonesia belum ada yang dapat menjelaskan hak-hak kucing sebagai hewan liar, tidak sebagai hewan peliharaan. Ketiadaan undang-undang tersebut membuka jalan untuk oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk memperlakukan kucing liar dengan buruk. Undang-undang di Indonesia masih menganggap kucing dan anjing sebagai "barang" yang dimiliki oleh manusia, bukan sebagai entitas makhluk hidup tersendiri.