Lihat ke Halaman Asli

Kian Siong

Ilmuwan

Mungkinkah Pil KB (Estrogen) Menurunkan Angka Kematian COVID-19

Diperbarui: 22 April 2020   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkinkah Pil KB Yang Meningkatkan Kadar Estrogen Dapat Menurunkan Angka Kematian COVID-19 

(Could the Birth Control Pills that Increase Estrogens Level Reduce Fatality in COVID-19 Patients)

Summary: Although the risk of getting infected by SARS-CoV-2 does not discriminate among men and women, the number of fatality cases around the world shows the men are definitely more at risk to develop severe symptoms leading to death. Co-morbid patients both men and women are at higher risk of acquiring the virus infection due to elevated activity of enzyme ACE2 (as results of some anti hypertension medicine), furthermore risk of fatality of these group also increases. Among the COVID-19 fatal cases due to acute respiratory distress syndrome (ARDS), immunity response were often preceded with “cytokine storm”. While anti-cytokine drugs are in the market, e.g. tocilizumab (anti IL-6) which being studied in China (will be completed May 3, 2020), price of the medicines makes the availability limited only to certain people. High estrogen level in reproductive women responses aggressively, fast and targeted during innate immunity system responses as well proportional during adaptive immunity response, preventing cytokine storm. Complexity of men testosterone level and immunity response is yet to be concluded, study has shown that elevated level of testosterone in men resulted lower antibody level acquired following the flu-vaccine shot, on the other hand strong responses were observed in women and men with lower level of testosterone. The Estrogen (E2: estradiol) inhibits expression of pro-inflammatory cytokines in various type of cell. Women in menopause, in which the level of E2 has dropped drastically, the E1 (Estrone) takes over the function of E2 in immunosuppression. Similar repressive effect on IL-6 and other pro-inflammatory cytokines is although to be the case when phytoestrogens from dietary intake from food like soy (tempeh). Strong and accurate immune response seen in women antigen SARS-CoV-2 is probably through E2 modulated immune response. If the estrogens is the key in preventing the cytokine storm, fatality cases due to ARDS can be reduced by increasing the level of estrogen (especially E2) from outside body by E2 hormone injection or as simple as taking birth control pills. Regardless there are ample data showing the possibly adverse effect of the estrogens therapy, short-term use of estrogen in saving patient life outweighs the risk of developing adverse effect in the future.  Therefore, it is worth a try    

Resiko Terinfeksi. Data dari berbagai sumber menunjukan jenis kelamin tidak bepengaruh pada resiko terinfeksi SARS-CoV-2. Namum penderita COVID – 19 yang berakhir dengan fatal lebih banyak dialami oleh penderita laki-laki yang berusia lanjut > 60 tahun. Resiko terinfeksi dan kematian menjadi lebih besar jika SARS-Co-V-2 menginfeksi pasien comorbid yakni pasien baik pria atau perempuan dengan diabetes, darah tinggi, jantung, asma dan penyakit degeneratif lain nya.

Angka Kematian. Data pasien COVID-19 China menunjukan jumlah pasien positif pria yang meninggal adalah 2,8% dan wanita 1,7% dari jumlah total pasien terinfeksi virus SARS-CoV-2. Data Korea Selatan malah menunjukan bahwa persentase pria terinfeksi virus SARS-CoV-2 yang lebih kecil dari wanita, dimana data per 31 Maret 2020, hanya 38% pasien COVID-19 pria. Namun demikian, jumlah kasus fatal pasien pria COVID-19 di Korea Selatan dua kali lebih besar dari wanita (1,2% vs. 0,5%). Data Spanyol juga menunjukan penderita COVID-19 pria yang berakhir dengan kematian adalah 2/3 dari total jumlah kematian (Data April 3, 2020). Terkahir adalah data dari daerah yang terdampak paling parah di Italia yaitu Lombardy menunjukan 82% pasien yang masuk ICU  adalah pria dan 70% dari jumlah kematian akibar COVID-19 adalah pria. Data dari Amerika, hanya didapatkan data untuk Kota New York, per 14 April 2020, jumlah kematian terbesar adalah pada pasien dengan umur lebih dari 75 tahun (48%), kemudian 25% untuk rentang umur 65-74 tahun dan 23% untuk rentang 45-64 tahun. Namum jika jumlah kematian yang sebanyak 6.839 jiwa dilihat dari jenis kelamin, maka kematian pasien pria mencapai 62% dan wanita 38%. Grafik di bawah ini menujukkan percentase kematian pasien pria COVID-19 di berbagai negara yang selalu lebih besar dari pasien wanita, meskipun percentase kasus pada pria dibeberapa negera lebih rendah daripada wanita. https://globalhealth5050.org/covid19/#1586248980572-3839d9fe-3b88

graph-1-jpg-5e9fcd78d541df1bb555e312.jpg

Kematian Pasien COVID-19 Pria. Lantas apa yang menyebabkan pasien pria memiliki resiko fatal yang lebih besar, data dari China mengatakan bahwa kematian pasien pria yang besar disebabkan oleh kebanyakan pria di China bedasarkan statistik nasional adalah perokok (50% pria vs 5% wanita, hal ini karena dalam cultur Chinese, ada stigma negatif terhadap wanita yang merokok), demikian pula dengan Italia yang mana perokok pria mencapai 25% lebih besar dari prokok wanita. Namum kecenderungan tersebut tidak didapat di Spanyol, yang menurut statistik nasional jumlah perokot pria dan wanita hanya bebeda sedikit. Lebih lanjut ke pasien yang berujung fatal di China, walau perlu studi lebih lanjut, kesimpulan saat ini, kemungkinan perokok aktif masuk ICU (dan memerlukan ventilator) dan berakhir kematian lebih besar 2,4 kali dibandung non-perokok. http://www.tobaccoinduceddiseases.org/COVID-19-and-smoking-A-systematic-review-of-the-evidence,119324,0,2.html

Kematian Pasien comorbid. Pasien comorbid adalah pasien yang sebelum terkena COVID-19 telah mengidap sejumlah penyakit yang membuat sistem imum menjadi lebih lemah, misal nya pada kasus pasien dengan tekanan darah tinggi, ada banyak penderita ini menggunakan obat  yang bekerja dengan menstimulasi (meningkatkan) enzime angiotensin-converting enzyme (ACE2), yang merupakan satu-satu nya perantara bagi virus SARS-CoV-2 untuk mencapai sel target. Demikian pula dengan penderita diabetes baik tipe 1 atau 2 yang menerima pengobatan dengan ACE inhibitor (seperti obat anti darah tinggi yang berakhiran – pril seperti Captropril) atau ACE2 Antagonist (yang berakhiran – tan seperti Valsartan). Enzim ACE2 yang banyak ditemukan pada sel di paru, pembuluh darah, jantung, ginjal dan usus befungsi untuk menurunkan tekanan darah.

Peran Enzim ACE2. Terlepas dari kebiasaan merokok dan penderita dengan sakit lain nya, adalah aspek hormonal yang mulai diteliti sebagai faktor yang menyebabkan lebih tinggi nya kematian pasien pria. Hormon testoteron yang  dominan pada pria diketahui sebagai hormon yang dapat menurunkan sistem imum tubuh dan tidak konsisten, dimana saat antigen masuk, ada sel imun yang menunjukan respon aktif, ada yang biasa saja, ada pula yang tidak peduli. sebaliknya estrogen pada wanita diketahui sebagai hormon yang meningkatkan kekebalan seorang wanita. Saat virus SARS-CoV-2 masuk melalu paru yang akhirnya sampai ke aveoli (pembuluh terkecil dalam paru tempat bertukar nya oksigen dengan karbon dioksida), dengan perantara enzim ACE2 virus tersebut akan mencapai sel target yaitu sel sel epitel di alveoli. Selanjutnya, RNA yang dilepaskan oleh virus akan membajak kerja sel dengan memerintakan sel tubuh untuk mereplikasi virus menjadi lebih banyak. Terhadap antigen yang masuk ini, sel imum melakukan respon dengan melepaskan inflamasi sitokin (pro- inflammatory cytokine). Hal ini untuk merekrut sel sel darah putih (B-Cell, T-Cell, Macrophages dan Monosit) ke sumber infeksi untuk menyingkirkan antigen (Virus) tersebut lewat bebagai mekanisme, seperti monosit yang bentuk nya mirip kacang merah adalah vaccum cleaner yang akan memakan virus, bakteri, protozoa dan lain nya, dan saat sel mati tersebut mati, mereka akan dibersihkan oleh sistem limfatik tubuh.

Badai Sitokin. Pelepasan pro- inflammatory cytokine adalah respon alamiah tubuh untuk menghadapi masuknya antigen seperti virus, tapi ada kala nya tubuh merespon berlebihan, yang menyebabkan apa yang kita kenal dengan istilah Badai Sitokin - Cytokine Storm. Saat Badai Sitokin, sel sel darah putih yang direkrut atau dimobilisasi menjadi terlalu banyak dan menjadi tidak terkontrol dengan menyerang dan menghancurkan sel sel sehat yang semestinya dilindungi. Fenomena Badai Sitokin ini adalah salah satu yang telah banyak diteliti sejak 2005 saat terjadi flu-burung. Tinggi nya angka kematian pada pasien flu-burung berkaitan langsung dengan tidak terkontrol nya respon sel dalam pelepasan sitokin. Sama halnya dengan flu-burung yang disebabkan oleh virus H5N1 dari kelompok betacorona, kejadian fatal pasien COVID-19 yang berakhir dengan gagal organ akibat dari badai sitokin. Pada kasus kegagalan organ paru akut (Acute respiratory distress syndrome), paru yang dipenuhi cairan atau nanah akibat terlampau banyak nya sel sel darah putih yang mati. Konsekuensi respon yang berlebihan ini berakibat fatal dan umumnya berujung dengan kematian. Penelitian juga membuktikan bahwa kegagalan organ vital lain nya seperti ginjal, hati, jantung, dan usus bisa juga akibat dari Badai Sitokin, sehingga peneliti berhipotesis bahwa kematian pasien COVID-19 akibat berkurang jika Badai Sitokin bisa dihambat. Badai Sitokin juga mungkin menjelaskan kenapa anak anak lebih “kuat” baik dari resiko terinfeksi (yang lebih rendah) dan kalaupun terinfeksi, kemungkinan fatal juah lebih kecil dari orang dewasa. Tidak hanya dalam SARS-CoV-2, dalam infeksi yang disebabkan oleh virus SARS dan MERS hal ini juga terjadi, belum ada jawaban pasti dalam hal ini, namum para ahli mempunyai hipotesa bahwa belum sempurna nya sistem imun anak dibawah 10 tahun sehingga produksi pro- inflammatory cytokines juga jaih lebih rendah.https://www.newscientist.com/term/cytokine-storm/#ixzz6KAi92UPJ

Obat Anticytokines. Sebelum COVID-19, telah banyak peneliti yang berusaha menemukan obat yang bisa menghambat Badai Sitokin yang dikenal dengan nama cytokine blockers atau anticytokines. Dari sekian banyak penelitian ada beberapa obat yang telah dipasarkan sebagai cytokine blockers seperti ustekinumab, infliximab, adalimumab dan tocilizumab (obat obat ini digunakan oleh pasien rematik artritis dan penyakit auto-imun lain nya). Masing masing obat ini menghambat jenis pro- inflammatory cytokines yang berdeda beda, ada anti-interleukin [IL]-12/IL-23, anti-tumor necrosis factor (TNF) and IL-6. Sebuah laporan menyatakan pasien pengguna obat – obat ini dan terinfeksi dan menjadi pasien positif COVID-19 belum ada yang berakhir di ICU atau menderita Pneumonia. Belum ada penelitian yang lebih lanjut apakah penguna obat obat di atas adalah orang orang yang resisten terhadap COVID-19. https://www.thelancet.com/action/showPdf?pii=S2665-9913%2820%2930092-8

Pneumonia yang disebabkan SARS-CoV-2 ditandai oleh hiper aktivasi sel imun T and berlebih nya produksi pro-inflammatory cytokines, khususnya IL-6. Para peneliti berhipotesa bahwa pasien yang menggunakan tocilizumab akan dapat mengendalikan produksi sitokin IL-6, sehingga mereka mungkin lebih resisten terhadap serangan SARS-CoV-2. Kemungkinan efektif nya obat-obat anti cytokines saat ini sedang diteliti. Saat ini tocilizumab sedang diteliti di China terhadap 188 pasien COVID-19 (selesai May 3, 2020). Obat lain yang bekerja pada cytokines seperti anti-TNF juga mendapat perhatian khusus untuk segera diuji-cobakan pada manusia https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)30858-8/fulltext . Terlepas dari efektif tidak nya obat-obat anti cytokines ini, mahal nya harga obat obat tersebut (misal tocilizumab: US$ 20-30 ribu per treatment) dan efek samping yang bisa berakibat pasien terkena infeksi bakteri dan virus lainnya membuat obat obat di atas menjadi terbatas penggunaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline