Lihat ke Halaman Asli

Tidak Lagi Mencari, Tapi Memilih Musuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya pernah mencari musuh, pun masih sampai sekarang. Tapi kini saya lebih suka memilih musuh. Untuk bermain catur, tentunya.

Bertemu "pecatur-pecatur kampungan" (saya menyebutnya demikian untuk mereka yang suka meralat langkahnya) yang hanya mengandalkan sedikit kelihayan, menempurnya hanya menghasilkan kalah, remis, atau menang. Tak lebih dari itu, selain memang sedikit lelah. Kalah, itu terjadi hanya ketika si musuh meminta maaf untuk membatalkan dan mengganti gerak langkah buah caturnya, sehingga saya yang tidak suka dianggap sebagai pemain "ulangan" akan bersedia memaafkan dan memperbolehkannya mengulang langkah --ini demi menjaga hubungan baik dengan musuh-musuh saya-- akan terketahui rencana dan strategi kecil saya, yang dalam permainan catur pastilah merupakan kerugian. Kalah dan tentulah itu bukan tujuan dari bermain catur.

Hasil kalah juga sering terjadi jika saya nekad mencoba-coba pelajaran-pelajaran yang saya terima dari kitab-kitab ilmu catur yang saya dapatkan di pasar. Kitab yang berisi kisah pertarungan para pecatur dunia itu sungguh-sungguh menghadirkan godaan untuk menirunya. Mulailah saya belajar memahami notasi, mengingat kedudukan buah catur dalam pembukaan, mencoba mempraktekkannya kembali dalam pertarungan sesungguhnya. Dan mengakui kebodohan sendiri rupanya lebih baik ketimbang mengeluhkan lupa dan tidak teliti. Kitab ilmu catur yang saya punya menyebutkan bahwa pembukaan catur haruslah dipahami, bukan sekedar dihapal urutan dan posisinya. Kalah karena kebodohan sendiri: sibuk menghapal, belum memahami.

Hasil remis memang tidaklah memalukan, sebab bukan merupakan kekalahan, apalagi jika saya menggunakan ilmu hitam. Karena pecatur-pecatur kampungan itu hanya mengandalkan sedikit kelihayan, maka sering juga saya nekad mencobai apa yang disebut kombinasi dalam kitab ilmu catur. Meskipun kemudian apa yang saya kira merupakan kombinasi itu ternyata justru sebuah blunder karena kurang teliti dalam membaca kemungkinan lanjutan dari langkah lawan. Hanya faktor "pecatur kampungan" itulah yang menolong saya sehinga mampu memaksakan hasil remis.

Tapi remis bagi saya tidak nikmat.  Saya pecatur serius (sebab ternyata! ada pecatur yang hanya mencari hiburan semata-mata) dan remis hanya medatangkan penyesalan yang bahkan membuat mata terpejam tapi tak bisa tidur. Bagaimana tidak, kemenangan sudah menjelang menjadi sirna hanya karena memandang remeh kemampuan "pecatur kampungan". Bagi pecatur hiburan remis mungkin sama nilainya dengan kalah ataupun menang. Tapi bagi saya bermain catur adalah sebuah tantangan. Jika saya sudah mampu mengalahkan si A, maka saya harus mampu menjaga level kemampuan agar tetap dan selamanya menang atas si A. Jika kalah dengan si B, maka secepatnya saya harus mampu mengalahkan si B, untuk dan tetap demikian seterusnya. Tapi memang terlalu mudah untuk mengalahkan si A maupun si B, karena mereka toh hanya "pecatur kampungan". Itulah mengapa remis menjadi tidak nikmat, sebab seharusnya saya yang belajar serius dari kitab ilmu catur ternyata masih kalah oleh "pecatur kampungan". Sekali lagi kebodohan sendiri harus lebih diseriusi, ternyata.

Menang. Setiap pecatur pastilah ingin menang dalam setiap pertarungannya. Juga saya. Tapi apa nikmatnya mengalahkan "pecatur kampungan"? Pecatur yang hanya bermain dengan cara yang sama, setiap kali bermain, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jikapun saya menang, nikmatnya hanya sebatas tidak kalah, itu saja. Tidak lebih. Tidak ada kebanggaan sama sekali. Bahkan jikapun saya menggunakan ilmu hitam, sementara dalam catur ilmu putih lebih dianggap lebih mempunyai peluang menang. Sebab ilmu putih andalan "pecatur kampungan" memang hanya sebatas level "putih jalan lebih dulu".

Begitulah. Musuh-musuh yang dulu saya cari dan saya temukan, di kampung saya, saya berani menganggapnya sebagai "pecatur kampungan". Dan sedikit keluh tentang kalah, remis, dan menang yang saya tuliskan ini membuat saya tak lagi mencari mereka sebagai musuh. Bertarung dengan mereka ternyata hanya mengulang kembali apa yang terjadi kemarin malam, kemarin sore, kemarin siang, minggu yang lalu, juga bulan yang lalu. Sekedar menemani mereka menghibur diri semata-mata.

Kini saya memilih musuh. Sebab memang selain "pecatur kampungan" itu, di kampung saya juga terdapat satu-dua (benar-benar satu-dua) pecatur yang levelnya di atas saya. Meski lebih sering kalah, tetapi secara pelan-pelan ternyata saya juga sudah bisa memaksakan remis, dan bahkan sekali dua menang, dan itu sangat menyenangkan, nikmat sekali. Tentu saja saya tahu bahwa lawan saya melakukan kesalahan, memandang remeh saya, tapi bahwa saya telah mampu membuat mereka melakukan itu adalah sebuah kemajuan yang sangat berarti bagi saya. Kemajuan, karena saya mampu mengalahkan mereka adalah hasil dari sering bertarung dengan mereka dan sering kalah, kekalahan yang membuat saya belajar.

Belajar. Saya pecatur serius, jadi senang belajar. Sementara "pecatur kampungan" itu hanya bermain catur untuk hiburan semata-mata sambil menikmati kretek berbatang-batang dan segelas kopi, sepanjang malam.

Karena itulah saya tak lagi mencari musuh, tapi memilih musuh. Saya akan mendatanginya, menantangnya dan saya akui: saya memang berniat mencuri ilmunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline