Wimar Witoelar pernah menyatakan tentang dunia lawak kita yang kian tidak lucu dan cenderung dilucu-lucukan (Kompas, 16/2/1996). apanya yang tidak lucu? untuk menjawabnya mari silakan coba menonton televisi trans7 yang berambisi menyuguhkan humor atau lawakan kepada penontonnya. mulai dari opera anak, opera van java, bukan empat mata dan juga pas mantap. tayangan-tayangan yang semula bertujuan menghibur penontonnya, ternyata dapat menghadirkan kemungkinan lain yaitu keracunan humor!
humor atau lawakan sesungguhnya hanya berambisi untuk membuat orang tertawa, tidak lebih dari itu!, tetapi cara dan gaya penyampaian humor yang ditempuh seringkali menempatkan humor sebagai alat untuk membuka ruang dan kesempatan untuk memberi label atas seseorang atau sekelompok orang tertentu, baik si penyaji humor sendiri maupun si penerima humor, bahkan pihak-pihak lain di luar sana. adalah suasana kegembiraan yang diciptakannya lah yang membuat humor mampu mengalihkan para penikmatnya dari kewaspadaan atas bahaya yang mampu ditimbulkannya. apalagi kegembiraan itu telah menjadi rutinitas yang tak terhindarkan (setidaknya nyaris demikian bagi masyarakat di sekitar purwokerto yang tentu saja lebih memilih menonton trans7 ketimbang segala macam sinetron sampah!), sehingga humor atau lawakan, apapun gaya dan caranya, menjadi kebiasaan yang tentu saja semakin mengurangi kepekaan untuk "membaca" suatu humor atau lawakan.
humor-humor yang tampil di acara-acara di atas seringkali hadir dengan kasar dan konyol. misal si X tampil dengan kostum banci, atau kostum apapun kemudian bergaya kebanci-bancian. misal si X yang lain mendorong dengan sengaja aktor lainnya agar terjerembab merusak properti yang memang sengaja dibikin untuk (harus) dirusak. misal si X lainnya mengolok-olok hidung Sule yang pesek. misal, apalagi ini!, permainan plesetan kata. banyak misal lainnya. nampak sekali tujuan sejak awal adalah harus lucu dan sekali lagi harus lucu, tidak boleh tidak. tema yang diusung sampai atau tidak kepada penontonnya, itu lain soal.
tentu saja ini adalah subjektivitas seorang penonton. sangatlah mungkin penonton-penonton lain tidak sampai pada anggapan seperti di atas. tetapi subjektivitas ini tidaklah sewenang-wenang. ia bersandar pada kenyataan bahwa humorpun mempunyai jenis dan gayanya sendiri-sendiri, dan itu yang membedakan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari suatu humor.
menurut Darminto M. Sudarmo (Redaktur Majalah HUMOR) dalam Anatomi Lelucon di Indonesia (Kompas Online, Sabtu, 9 Maret 1996), terdapat 14 (empatbelas) jenis lelucon atau humor. (1) guyon parikena, (2) satire, (3) sinisme, (4) plesetan, (5) slapstick, (6) olah logika, (7) analogi, (8) unggul-pecundang, (9) surealisme , (10) kelam, (11) seks, (12) olah estetika, (13) eksperimental, dan (14) apologisme. lalu mana yang bisa memungkinkan terjadinya keracunan humor?
dari tayangan yang (pernah) ada seringkali hadir adalah gaya plesetan, slapstick, unggul-pecundang, surealisme, kelam, seks, apologisme. gaya-gaya yang lain sekalipun muncul sesekali tetapi kemudian tertimbun oleh gaya yang lebih sering hadir tersebut. kesan yang timbul kemudian adalah bahwa untuk melawak ternyata harus ada yang dikorbankan: menjadi objek atau sasaran penderita. jika hal semacam ini terus-menerus hadir setiap malam maka akan menjadi hal biasa jika dalam keseharian seseorang berlaku kasar kepada orang lain dan beralasan itu hanyalah sekedar humor. pada tingkat yang lebih kolosal tentu saja itu berbahaya. suatu racun dalam kehidupan sosial yang mampu menumpulkan kepekaan kita terhadap perbedaan dan kehadiran tiap-tiap persona yang memang unik dan sempurna dengan kenyataan fisik masing-masing. menertawakan ketidakberuntungan orang lain pastilah perbuatan rendah dan itu tidaklah sepatutnya menjadi kebiasaan, bahkan sekalipun hanyalah pada sebuah tontonan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H