Pagi tadi, saat jalan-jalan ke Gramedia saya cukup kaget ketika di depan kasir melihat seseorang membayar sekitar tiga juta untuk membayar beberapa aneka buku yang dibelinya.
Sekilas saya lihat ada buku filsafat, sejarah, biografi, agama, sosial, dan ekonomi. Mungkin dia mempunyai perpustakaan pribadi. Luar biasa..... tapi apa sempat membacanya, pikir saya. Jangan-jangan hanya jadi pengisi rapi rak terkunci atau penghias meja rumah dan dashboard mobil saja.
Alangkah terkejutnya, ketika sampai di rumah dan saat berniat menaruh buku di meja kerja, saya lihat ada sekitar 36 buku yang masih terbungkus plastik covernya. Artinya buku tersebut belum sempat saya buka.
Padahal setelah saya tata lagi masih ada puluhan lagi yang sudah tersampul bagus namun tak terlihat sekat halaman yang berarti buku tersebut belum dibaca. Termasuk di antaranya Cerpen Kompas Pilihan mulai tahun 2002.
Tersadar akan keadaan ini, saya pun menyadari kesalahan terlalu cepat melihat sesuatu yang kurang baik pada orang lain padahal saya sendiri melakukan hal tersebut.
Kedua, ternyata saya punya alasan untuk tidak membaca buku dulu sebab kehidupan nyata ternyata sumber pembelajaran yang nyata daripada buku yang hanya dari sudut pandang penulis buku tersebut. Sekali pun sang penulis buku tersebut juga dipengaruhi keadaan jaman dalam hidupnya.
Membaca buku termasuk koran dan majalah juga e-book memang akan menambah kasanah dan sangat berguna. Maka sungguh sangat indah ketika buku-buku tersebut bukan hanya kita baca sendiri lalu disimpan rapi dalam rak atau lemari dan orang lain hanya melihat saja tanpa pernah ikut membacanya.
Tentu saja kebijakan tentang pinjam buku ini hanya berlaku untuk dibaca di tempat atau diperkenankan dibawa pulang ada di tangan anda.
Salam budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H