Lihat ke Halaman Asli

Nyi Ismayawati

Urip sakmadya

Masa yang Telah Berlalu

Diperbarui: 4 November 2020   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto sendiri

Masih kuingat kala kita berjalan menyusuri tepian sungai berbatas tingginya rumpun bambu yang senantiasa melantunkan lagu sendu dari deritnya batang bambu yang bergoyang menari bersama angin.

Kicau serak burung tengkek pun selalu menemani teriakan kita kala melihat seekor ular melahap katak di pinggir sungai itu. Bahkan kedasih yang menangis pun tak kita pedulikan lagi walau orangtua bilang akan ada petaka datang.

Kita terus berjalan dan kadang berlari menuju ujung lubuk untuk mandi tanpa baju  dan rasa malu. Kau melompat dan aku menunggu untuk terjun berjumpalitan di tebing pinggir lubuk. Tak peduli mendung sudah menggantung kita terus bercengkerama dan menabuh kendang air lubuk yang menggema menelan suara gerimis yang menerpa kita.

Hanya air keruh dari udik yang mengingatkan kita akan banjir yang segera mengalir memberitahu kita untuk segera mentas dan kembali pulang.

Di rumah, Emak sudah menunggu dengan cemberut kala melihat kita tak membawa kayu bakar dari ranting kering yang seharusnya kita cari selain sebatang ranting berujung getah untuk menangkap capung.

Di pojok depan rumah, kita menunggu waktu Emak sudah lupa kesalahan kita dan menyiapkan ubi bakar yang menggoda perut kita untuk meneteskan liur lapar kita.

Tiga puluh tahun sudah semua berlalu. Bukan hanya rumpun bambu yang berganti tebing tembok beton penahan longsor tetapi juga sungai telah menyempit menjadi parit. Burung pun bernyanyi merdu dalam kesedihan di sangkar yang menggantung di dahan pohon jambu yang enggan tumbuh. Tak terdengar lagi celoteh anak-anak dusun bermain air berkecipak kecipung. Semua duduk terdiam  di balik pagar di bawah jendela menghadap si kotak kecil ajaib yang mengungkung mereka dalam dunia semu.

Tak ada lagi tertawa bersama seperti kita kala menggelitik dan mengadu jangkrik dengan kili rumput teki. Kini mereka tersenyum sendiri sambil menarikan jari jempol bukan seperti kita menarikan kuda kepang bergoyang mendengar hentakan kendang.

Semua telah berlalu kecuali kita yang menunggu waktu untuk berlalu.   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline