Lihat ke Halaman Asli

Nenek Tua Penjual Gethuk dan Pengamen Modis

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1290307536963954883

[caption id="attachment_74003" align="alignleft" width="300" caption="Nenek penjual gethuk dan pengamen modis. (doc.pribadi)"][/caption] Setiap pagi saat saya mulai melajukan motor ke kantor, saya selalu berpapasan dengan seorang nenek di daerah Sungwen-Sugihwaras, Maospati. Dan setiap menjelang Ashar selalu menjumpainya dengan langkah ringan berjalan di depan rumah saya untuk menuju pulang.

Walau langkahnya ringan tetapi kelihatan sekali kalau tertatih dan lemah. Tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengais rejeki yang halal tanpa mengemis. Meraup rejeki rupiah per rupiah dari hasil berjualan Gethuk Ketela di sawah-sawah di dekat tempat tinggal saya ataupun terkadang lebih jauh lagi. Padahal jarak rumahnya sampai rumah saya saja hampir 2 kilometer, apalagi kalau sampai ke sawah-sawah yang lebih ke utara lagi. Bisa dibayangkan berapa jauhnya.  Apalagi beban di punggungnya. Mungkin karena sudah tidak begitu kuat lagi maka bakul yang ada di punggungnya tidak telihat penuh. Mungkin memang sengaja dia tidak memenuhi bakulnya untuk mengurangi beban punggungnya. Terkadang bakul yang disandangnya tertutup plastik untuk menghindari hujan ataupun debu.

Harga sebungkus gethuk ketela hanyalah Rp500,- Untuk masa sekarang, uang Rp500,- dianggap recehan bagi sebagian orang. Tapi baginya sangat luar biasa artinya.

Terus apa hubungannya dengan Pengamen Modis?

Pagi ini saat menikmati kopi, tiba-tiba ada suara dari luar rumah. Suara yang melantunkan lagu dangdut seadanya ditemani iringan kecrekan pasti menarik perhatian. Seperti biasa, maaf, saya tidak berminat. Mungkin karena kasihan, adik saya memberikan kepingan Rp500,- kepadanya. Saya tertegun. Gampang sekali dia mengumpulkan uang. Saya lalu keluar rumah, melihatnya mampir juga ke rumah tetangga. Dia mendapatkan lembaran ribuan. Dengan badan yang masih segar bugar tanpa cela dengan pakaian yang modis terasa menyesak di hati melihatnya mengamen. Sangat kontradiktif dengan si nenek tua penjual gethuk yang tadi pagi juga mampir ke rumah saya menawarkan dagangannya.

Jika melihat sosok nenek tua tadi, orang pasti heran. Betapa tidak, di usianya yang renta dia masih mau bekerja demi bertahan hidup. Tidak hanya sekedar menengadahkan tangan mengharapkan belas kasihan orang lain tetapi dia bermodal. Dengan membuat gethuk dia sudah mengeluarkan uang untuk membeli bahan baku. Sesuatu yang perlu dicontoh oleh generasi sekarang. Contoh sederhana dari seorang nenek renta. Bahwa kita harus berjuang menghadapi hidup ini.

Hidup. Ya, hidup. Bagi sebagian orang khususnya bagi nenek tua penjual gethuk tadi, hidup harus dihadapi. Harus dinikmati. Harus disyukuri. Harus diperjuangkan. Seperti perjuangannya mengumpulkan keping demi keping uang limaratusan dari tangan-tangan yang mencintai gethuknya. Untuk menyambung hidupnya.

#catatan kecil di awal hari sambil menikmati secangkir kopi, 21112010#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline