"Nduk, tulung irisna apel kuwi. Sethithik wae, ga usah akeh-akeh", itulah permintaan terakhir simbah padaku di suatu petang yang sunyi. Ditemani temaram lampu ublik dimana semprongnya mulai menghitam terkena langes. Malam itu aku tertidur pulas dalam pelukan simbah. Rasanya damai sekali hingga aku tidak menyadari simbah telah pergi untuk selama-lamanya. Simbah yang paling aku sayangi meninggalkan aku. Masih terngiang di telinga ini, orang-orang bilang padaku, saat aku kecil simbah selalu ngudang aku, "nduk, sok gedhe dadia wong sing iso ngangkat derajate wong tuwa, sekolaho sing dhuwur, masio mbahe uripe susah, ojo nganti kowe melu susah." Dan kini aku hanya bisa meneteskan air mata dan dada rasanya sesak mengingat hal itu. Mbah, aku rindu. Maafkan aku yang tidak bisa membahagiakanmu. Tapi aku yakin mbah, jika saja mbah saat ini masih sugeng, mbah akan bangga padaku. Terima kasih mbah, telah merawat dan menyayangiku selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H