NGAJI "SOROGAN" KAMPUNG, H. ABDUL MANAN MUSTHOFA
Sore itu menjelang maghrib tiba, beberapa sepeda onthel melaju kencang menuju langgar (istilah: surau dikampung). Keceriaan dan tawa lepas yg renyah mereka tak bs disembunyikan. Berbekal sarung yg melingkar dileher, khas simbul kegagahan&kebanggaan anak-anak kampung pada umumnya.
Tak lama kemudian Suara kentongan nyaring terdengar dari kejauhan. Terakhir dibumbui suara bedug sebagai penutup.
" Allohu Akbar...Allooohu Akbar...dstrnya." lantunan suara adzan melengking dari pucuk mustaka surau.
Anak2 berlarian bergegas menuju jeding ( tempat wudhu plus kolam mandi) berebut posisi&berjajar untuk segera berwudhu supaya tidak ketinggalan masuk wektu sholat Maghrib.
Begitulah aktivitas rutinan dikampung diera awal-awal tahun 80 an hingga akhir 90 an masih lekat membekas dalam ingatan. Temaram lampu teplok menerangi sebatas ruangan yg nampak remang2. Gerak bayang2 dari efek lampu menambah suasana semakin syahdu. Sekaligus menjadi ilustrasi yg indah tak tergantikan.
Tidak berselang lama setelah dzikir dan bacaan do'a habis sholat itu selesai, anak2 berhamburan berebut kitab2 ngaji yang tertata di bibit bingkai jendela yg nampak tdk beraturan. Bahkan berserak. Sebagian sudah sobek, dan tak bersampul.
Sang Guru sudah bersiap. Sembari menyalakan rokok kretek yg terselip dijemarinya, beliau menyeru pada anak2 yg sedari tadi "nderes"( proses belajar sendiri sebelum maju dihadapan guru) dengan suara yg keras dan menggema.
" Hayo Endi sing wis siap Ndang maju" bertanya menyapa ruangan.
" mocone...lam yalid walam yuulad, luwih pertilo tur Cetho. Kui wacane idzghom bilagunnah. La ko' diwaca idzghom bigunnah." Spontan beliau mengingatkan. Karena ada yg bacaanya tdk sesuai pelajaran kitab tajwid. (Kitab yg mengajarkan bunyi makhroj huruf dgn kaidah yg detail&disiplin).
Demikianlah sang Guru membenarkan secara reflek. Tanpa harus menunggu yg bersangkutan merapat pada dampar(meja kecil seukuran orang bersila) yang tersedia. Beliau terkenal keras dan tegas. Bahkan nampak galak. Terdengar ada bacaan menyimpang lngsng disambar&dibetulkan seketika. Sontak aja, teman2 kala itu yg belum siap betul untuk maju, dipastikan berjejer diurutan belakang. Dihantui perasaan bersalah dgn dekup jantung yg tdk beraturan. Karena pas tiba giliran akan didamprat habis2san. TDK jarang beliau mengeraskan suaranya sembari memperlihatkan mimik wajah dan bentuk bibir yg benar&ideal.
Masih saya ingat bagaimana Makde Anan ( karena msh terhitung Paman dari jalur Ayah) memberikan olesan angus (kerak hitam yg di cerobong kaca lampu teplok) di wajah muridnya2 yg agak sulit dibenarkan. Makhlum mungkin juga rasa grogi dan takut menyelimuti perasan mereka.
Itu belum seberapa, menginjak giliran ngaji kitab: Tuhfat Al atfal, 'aqidat Al awam, Al Jurumiyah, Ngimrithi, A la la dstrnya akan lebih keras lagi. Sehabis ngaji sorogan Tartil tajwid; Alqur'an, berjanji dan tuturan rutin disambung ngaji kitab dgn media ajar papan tulis hitam plus kapur tulis.
Masih berlaku kala itu, yang tidak hafal nadzoman akan otomatis dijejer (suruh berdiri disamping papan tulis) hingga ngajinya selesai. Saya ingat bagaimana wajah teman2 menjadi putih semua karena pas ngaji kena Baluran bekas rebelan kapur tulis disela2 papan tulis.
Bukan hanya itu saja, tidak sedikit yg tersengguk dan keluar air mata karena menahan tangisan. Bahkan sempat waktu itu saya harus pindah ngaji ke langgar yg satunya diselatan pojok desa. Karena disana Gurunya terkenal law profile dan penyabar. Tapi bagaimanapun akhirnya tetap aja kembali lagi karena model pengajarannya berbeda. Dan saya akhirnya merasakan model Makde Anan memang lain dari yg lain. Khas dan berkarakter.