Lihat ke Halaman Asli

Khusnul Khofifah

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, FIS UNJ

Kontradiksi Pengenaan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Sembako dengan Kemerosotan Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19

Diperbarui: 8 Oktober 2021   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: Khusnul Khofifah

Dilansir dari laman detik.com pada 11 juni 2021, bahwasanya upaya pemberlakuan pemungutan pajak pertambahan nilai untuk sembako, yang semula dalam draft UU (Undang-undang) sembako tidak dikenakan pajak pertambahan nilai menjadi dikenakan. Yang mana, hal tersebut telah menuai berbagai kontroversi dari berbagai macam kalangan di masyarakat. Dimana. terdapat beberapa kelompok masyarakat yang setuju dan tidak setuju dengan adanya perencanaan pengenaan PPN sembako tersebut, kontradiksi pada dewasa ini menuai berbagai macam anggapan negative dalam stigma masyarakat menengah kebawah, mengingat keadaan keuangan masyarakat yang semakin merosot di masa pandemi covid-19.

Kemerosotan ekonomi yang kian melorot membuat masyarakat kewalahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak dari masyarakat menengah kebawah yang mengalami kelaparan, kebingungan mencari pekerjaan, dan harus tertatih-tatih dalam mengais rezeki pasca pandemi covid-19. Masyarakat tidak akan mampu bertahan hidup tanpa memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat membutuhkan makanan, minuman dan gizi yang seimbang agar dapat menjalani keberlangsungan hidup didunia ini. Pemenuhan kebutuhan tersebut tentunya didapati dengan membeli beberapa makanan pokok sehari-hari sebagai asumsi dasar kesehatan dan kebugaran masyarakat dalam menjalani aktifitasnya. Beberapa macam makanan pokok inilah yang biasa kita sebut dengan Sembilan bahan pokok (Sembako).

Oleh karena itu, antara rencana pengenaan pemungutan pertambahan nilai pajak sembako dengan keadaan perekonomian yang kritis dan keberlangsungan hidup masyarakat menengah kebawah memiliki pengaruh yang signifikan akan terancamnya peningkatan kemiskinan, penurunan gizi, pengangguran, mental down, peningkatan angka kematian, peningkatan angka covid-19, dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang mungkin akan terjadi akibat penanganan covid-19 yang tidak tepat dan sasaran kebijakan yang salah serta terburu-buru dalam membuat kebijakan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat secara meyeluruh. Tentunya, sebagian besar dari kita tidak menginginkan hal yang demikian terjadi. Maka kita perlu menumbuhkan pemahaman yang mendalam dan sosialisasi secara massif terkait beberapa kebijakan yang berusaha dilayangkan oleh pemerintah agar kontradiksi ini berakhir dengan stigma positif.

Rencana Pemungutan Pajak Sembako, tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983, tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Didalamnya, berisi bahwa barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN yang juga sebelumnya diatur dalam peraturan  Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi. Namun, pada 11 Juni 2021 kemarin, peraturan tersebut berbalik arah, Semula tidak dikenakan menjadi dikenakan.

Berdasarkan surat elektornif (Surel) yang dikirim untuk para wajib pajak pada 13 Juni 2021, Direktorat Jenderal Pajak mengatakan bahwa berita yang beredar terkait pengenaan PPN sembako merupakan informasi yang tidak berasal dari sumber resmi yakni pemerintah. Saat ini pemerintah tengah sibuk dengan penanganan covid-19 dengan melakukan berbagai usaha agar masyarakat terlindungi serta agar pemulihan ekonomi bisa bangkit kembali. Untuk membangkitkan ekonomi, pemerintah menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan mengingat keadaan ekonomi pasca covid-19 merebak sangat kritis, diantara kebijakan perpajakan tersebut salah satunya terkait dengan mengubah pengaturan PPN.

Terdapat beberapa poin penting pengubahan pengaturan PPN yaitu, pengurangan berbagai fasilitas PPN, penerapan multitarif yang lebih rendah pada umumnya khusus untuk masyarakat menengah kebawah, dan beberapa jenis barang tertentu akan dikenai PPN untuk kemudahan. Selanjutnya berdasarkan berkas rumusan RUU KUP yang diterima bisnis, terdapat 3 opsi pemerintah untuk pengenaan tarif PPN barang kebutuhan pokok atau sembako, yakni; pemerintah akan memberlakukan tariff PPN umum sebesar 12%, dikenakannya tariff rendah yakni sebesar 5% sesuai skema multitarif yang dilegalisasi melalui penerbitan peraturan pemerintah, dan menggunakan tariff PPN final sebesar 1%.

Wakil menteri keuangan Suahasil Nazara, mengatakan bahwa rencana pemerintah memungut pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako tidak hanya sekedar untuk menambah pendapatan negara, namun juga untuk kesetaraan dalam sektor perpajakan. Dengan adanya pemungutan PPN sembako ini pemerintah dapat mengklasifikasi barang yang pantas untuk dikenakan pajak kedepannya.

Selanjutnya untuk mengatasi kisruh yang ada di masyarakat terkait PPN sembako, Kementrian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perpajakan menjelaskan kembali mengenai rencana kebijakan PPN sembako yang mana bisa dipastikan tidak akan berlaku pada pasar tradisional, kecuali, jenis sembako premium berdasarkan sifatnya yang mana akan dikenai harga 5 hingga 15 kali lipat dari harga sembako biasa pada umumnya . Adapun berikut beberapa jenis sembako premium yang dikenakan PPN yaitu seperti; pada komoditas beras lokal bermerek Rojolele, Basmati, Shirataki, hingga Pandan Wangi dan pada komoditas daging seperti daging sapi kobe serta daging sapi wagyu.

Dalam gambar tersebut dijelaskan bahwasanya menanggapi kisruh pengenaan PPN sembako sangat memuat banyak kontradiksi, karena hal tersebut mampu menekik kondisi keuangan pada sebagian besar masyarakat menengah kebawah. Mengingat dalam kondisi pandemi seperti ini tingkat kemiskinan di Indonesia meningkat drastis dari tahun 2020 sampai sekarang, diketahui dampak dari covid-19 ini tidak main-main. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) kategori kemiskinan meningkat sebanyak 10,19% dari tahun sebelumnya. Memang sejatinya pemerintah telah memberikan bantuan kepada masyarakat berupa Bantuan Sosial (Bansos) namun dirasa masih belum dapat mengatasi masalah kemiskinan secara menyeluruh sebab Bansos yang diberikan terkadang nominal jumlahnya dikurangi dari yang seharusnya, ada keterlambatan dalam penerimaannya, serta lama kelamaan tiba-tiba Bansos ditiadakan untuk masyarakat kelas bawah artinya tidak terus menerus diberikan. Walaupun memang menimbulkan ketergantungan namun baik untuk keberlangsungan hidup.

Kontradiksi dalam kehidupan masyarakat dihasilkan dari respon timbal balik antara kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, sosialisasi yang kurang dan realitas yang kacau balau akibat diselimuti oleh pandemi covid-19 yang tak kunjung usai. Sebab tidak hanya mampu meregang nyawa lewat paparan secara langsung, namun juga secara perlahan covid-19 mampu menekan angka kematian pada masyarakat khususnya masyarakat miskin akibat kemiskinan dan kelaparan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline