Lihat ke Halaman Asli

khusnul ashar

ordinary people

Sektor Informal: Wahana Reformasi Mental di Masa Pandemi

Diperbarui: 5 Januari 2021   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di mana saja entah di negara maju apalagi negara yang belum maju, mencari pekerjaan adalah sesuatu yang sulit. Persaingan memperebutkan lowongan kerja penuh dengan kesulitan. 

Dari mulai menyiapkan berkas biodata yang menarik; mengirim ke puluhan instansi/perusahaan sampai mengikuti  tahap-tahap seleksi adalah upaya yang menguras energi dan pikiran. 

Itu pun belum tentu berhasil lolos sampai ke tahap akhir. Setelah berhasil memperoleh pekerjaan, masalah lanjutannya menunggu. Gaji yang kecil; fasilitas kerja yang minim bahkan meja pun belum tentu tersedia sedangkan sebagai pemula biasanya dibebani bertumpuk tugas yang harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang ketat. Tidak boleh ada kesalahan. Bisa-bisa diomelin atasan yang cerewet. 

Ini kasus bagi mereka yang beruntung memperoleh pekerjaan. Bagi yang gagal melalui tahapan seleksi atau bagi yang belum menerima panggilan wawancara, jalan hidup ke depan masih kabur dan gelap. Bisa-bisa tanpa terasa waktu berlalu bulan demi bulan sampai hitungan tahun belum ada satu pun surat lamaran yang memperoleh tanggapan.

Apalagi dimasa pandemi seperti sekarang ini, jangankan ada lowongan kerja yang terbuka lebar, mempertahankan pekerjaan yang ada saja belum tentu bisa. Pengurangan jam kerja, bahkan pemutusan kerja bukan hal aneh saat ini. 

Data Kadin Indonesia memperkirakan sekitar 29 juta warga Indonesia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada masa Covid-19. Jumlah korban PHK ini lebih banyak dari jumlah total penduduk  Australia ( 25,4 juta ).

Apa solusi yang dipilih korban PHK ? Mereka melakukan kerja apa saja demi memperoleh penghasilan di sektor-sektor ekonomi informal ( berjualan makanan, sandang, asesori, penyedia jasa perantara atau kerja apapun yang bisa memberi penghasilan ). Sebagian mereka bergabung menjadi pasukan Gojek atau Grab. Di kegiatan-kegiatan informal inilah mereka menggantungkan nasibnya.

Sektor informal dalam konsep ekonomi tergolong sebagai sektor bawah tanah ( underground economy ), yaitu kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dan hasil produksinya tidak diperhitungkan dalam statistik negara. Sektor ini tumbuh bagai jamur di musim penghujan; merebak ke seluruh penjuru wilayah entah di pedesaan apalagi di perkotaan. Badan Pusat Statistik memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor ini  pada tahun 2020 mencapai 70,49 juta orang (jumlah pekerja pekerja di sektor formal lebih kecil yaitu  56,02 juta).

Walaupun merebaknya  sektor informal menyiratkan kegagalan pasar kerja Indonesia yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja layak di sektor formal, sektor informal mempunyai peranan penting sebagai wahana transformasi mental sumberdaya manusia Indonesia.

Pada umumnya lulusan pendidikan di Indonesia - dan orang tuanya -  mendambakan pekerjaan yang aman berpenghasilan pasti ( walaupun nilai rupiahnya kecil )  ketimbang menjadi wirausahawan yang harus kerja keras dengan penghasilan yang jumlahnya naik-turun.

Sektor informal memungkinkan anak-anak bisa dilibatkan membantu apa saja yang mampu mereka lakukan di waktu luang. Ketimbang anak-anak hanya bersantai main hp atau nongkrong di pengkolan, dengan membantu menjalankan roda usaha keluarga maka terjadi proses pembentukan karakter positif sejak muda ( seperti kebiasaan kerja nyata, timbulnya rasa tanggung jawab, kebiasaan melayani & kerjasama dan yang juga penting adalah tumbuhnya etos kerja dan kebiasaan menghargai waktu ).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline