Lihat ke Halaman Asli

Khusnul Kholifah

Ibu dan Pendidik

Meneladani Kisah Bu Suci Figur Guru dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini

Diperbarui: 15 Januari 2024   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi novel Pertemuan Dua Hati (dokpri)

Pertama kali saya menemukan dan membaca buku ini saat kelas 3 SMP sekitar 15 tahun yang lalu. Waktu itu saya berkesempatan mengikuti lomba menulis sinopsis dan menceritakan kembali isi novel tersebut.

Novel ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Lika-liku di dunia pendidikan sebagai seorang pendidik yang saya alami seringkali mengingatkan buku ini terutama pada sosok Bu Suci dan Waskito.

Pada tulisan kali ini saya akan mencoba mengulas relevansi kisah dalam buku ini dengan salah satu topik pilihan di kompasiana yaitu “kolaborasi antara orang tua dan guru, mengapa belum terjalin optimal?”.

Meskipun buku ini sudah terbit terbilang lama yakni pada tahun 1986, namun novel karya Nh. Dini ini menyuguhkan contoh permasalahan siswa yang hingga kini masih kerap terjadi di lingkungan sekolah.

Sekilas Kisah Pertemuan Dua Hati

Pertemuan dua hati ini bukanlah pertemuan antara dua sejoli yang sedang memadu kasih, melainkan kisah antara guru dan murid yaitu Bu Suci dan Waskito.

Waskito adalah seorang “murid yang sukar” sehingga ia tidak disukai teman-temannya di sekolah. Waskito sering membolos, sering memukuli teman-temannya, dan sering membuat onar di kelas/sekolah. Akan tetapi, berkat keuletan Bu Suci, akhirnya si “anak sukar” itu berhasil dibimbing ke arah yang benar.

Perjuangan Bu Suci menaklukan hati Waskito tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pernah Bu Suci mendatangi kediaman kakek dan nenek Waskito untuk menggali segala hal informasi yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku negatif anak tersebut.

Singkat cerita, Bu Suci pun mendapatkan informasi bahwa sebenarnya Waskito adalah anak yang baik. Perilaku negatif yang nampak sekarang ini adalah bentuk pola asuh kedua orang tuanya yang kurang tepat. Ayahnya seringkali memukul Waskito tanpa alasan yang jelas jika sang anak melakukan suatu kesalahan tanpa memberikan pengarahan yang tepat. Sementara sang ibu, kerap kali memanjakan Waskito sehingga anak tersebut tidak pernah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Pada akhirnya, Waskito menjadi anak yang “nakal”.

Sebelumnya, Waskito pernah tinggal juga bersama nenek dan kakeknya hingga suatu hari kedua orang tuanya menjemput kembali untuk tinggal bersama mereka lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline