Lihat ke Halaman Asli

Khusnul Zaini

Libero Zona Mista

"Rekening Tagihan Jokowi" Kepada "Leaders Summit on Climate"

Diperbarui: 1 Mei 2021   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau "Leaders Summit on Climate" dijadikan momentum Jokowi melakukan negosiasi politik "merawat lingkungan bumi Indonesia" yang ditempati sekitar 271.349.889 jiwa rakyat Indonesia.

Untuk diketahui, KTT Leaders Summit on Climate ini dibuka secara resmi oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris. Konferensi ini diikuti oleh 41 kepala negara/kepala pemerintahan/ketua organisasi internasional.

Strategi politik dagang Jokowi kepada para pemimpin dunia ini, ibarat gemulainya tarian khas Solo yang mematikan makluk apa saja saat terinjak kaki sang penari. Mindfulness dalam menyampaikan pikiran dan tuntutannya, gestur Jokowi seperti pembawaan sang penari.

Begitu kiranya analogi padanan untuk menafsirkan langkah negosiasi politik tingkat tinggi Jokowi. Menggunakan narasi secara santun, tetapi menghujam pada pokok masalah hingga membuat para pemimpin dunia masuk dalam perangkap komitmen yang pernah dijanjikan.

Tiga pemikiran pidato politik Presiden Joko Widodo yang disampaikan keseluruh peserta KTT perubahan iklim, pertama, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata.

Tafsir politik pernyataan Jokowi ini, bisa dimaknai sebagai tindakan "penyodoran rekening tagihan" kepada negara-negara penikmat hasil penurunan laju deforestasi dan kebakaran hutan di Indonesia, sebagai aksi nyata andilnya dalam penanganan perubahan iklim global.

Ilustrasi dengan menggunakan "perbandingan luasan kawasan yang diselamatkan" seakan mengingatkan sekaligus membelalakkan mata para pemimpin dan warga dunia mengenai kesungguhan komitmen yang dilakukan secara nyata pemerintah Indonesia.

"Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas"

Untuk dipahami, bahwa tidaklah mudah, niatan dan keseriusan pemerintah Indonesia saat ini harus menghadapi banyak resiko dan konsekwensi dampak logis-politis. Bahkan, harus jujur diakui ada subyek hukum tertentu yang harus menanggung hingga menjadi korban politisnya.

Dalam praktiknya, realisasi kebijakan pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan dalih narasi yang diformulasikan oleh kelompok tehnokrat, akademisi hingga kalangan NGO yang mewakili keyakinan berbasis aliran pemikirannya masing-masing.

Setidaknya ada dua dalih, yang mewakili kelompok "aliran pemikiran developmentalis" dan "aliran pemikiran post modernis berbasis kewahyuan". Pada ghalibnya, kedua aliran pemikiran tersebut mengemasnya dengan narasi beserta argumentasinya secara ilmiah.

Aliran pemikiran developmentalis meyakini soal "keniscayaan bonus demografi, pemenuhan segala kebutuhan manusia, hingga soal persaingan antar negara demi kedaulatan dan keamanan" warga dan negara bangsanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline