Lihat ke Halaman Asli

Khusnul Zaini

Libero Zona Mista

Bagaimana Orangtua Memposisikan Anak sebagai Aset atau Investasi?

Diperbarui: 28 Februari 2021   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi anak bermain. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Anak merupakan kebanggaan keluarga. Setiap prilaku dan prestasi serta kesuksesan anak, bisa mempengaruhi status sosial orang tua di mata tetangga, kawan dan rekanan kerja, hingga keluarga besarnya.

Tidak jarang, soal eksistensi anak bisa dijadikan obyek pembicaraan yang membanggakan atau sebaliknya. Mulai dari cerita tempat sekolah/ponpes/kuliah, prestasi, hingga kenakalannya, hingga cerita keberasilan sekaligus cerita keprihatinannya.

Erik Erikson, seorang psikolog Jerman yang terkenal dengan teori perkembangan psiko-sosial, mengatakan bahwa persamaan ego merupakan perasaan yang berkembang dari interaksi sosial. Perkembangan ego berubah berdasarkan pengalaman, interaksi sosial, dan informasi informasi baru yang didapatkan.

Berdasarkan paparan teori perkembangan psiko-sosial di atas, tafsirnya bisa berarti bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi dengan latar belakang anak mendapat perlakuan, prilakunya dalam interaksi sosialnya, hingga bagaimana cara anak merespon informasi yang diperoleh.

Implikasinya dengan paparan di atas, maka pertanyaannya kemudian, bagaimana "seharusnya dan yang sebenarnya" setiap orang tua memosisikan anak? Apakah sebagai asset atau sebagai investasi?

Setidaknya cara penanganan yang dilakukan setiap orang tua akan berbeda, jika setiap orang tua menyadari dalam memosisikan anak sebagaimana harapannya dikemudian hari.

Anak sebagai Aset

Jika anak diposisikan sebagai aset, maka setiap tingkah pola anak akan diarahkan untuk menghasilkan materi dan prestasi. Targetnya jelas, meringankan beban ekonomi keluarga, dan kalau wujudnya prestasi bisa mengangkat status sosial keluarga.

Anak akan dipaksa bantu orang tua dengan berdagang misalnya, diajarkan cara bisnis online, kerja dikebun/sawah/ladang, atau dilibatkan dalam profesi yang digeluti orang tuanya.

Secara tidak langsung, orang tua telah mengeksploitasi anak dengan dalih meringankan beban keluarga dan untuk masa depan anak. Akibatnya, kebebasan dunia anak sesuai hak azasinya terampas. Praktik ini kadang tidak disadari para orang tua maupun anak itu sendiri.

Fenomena ini menjadi hal biasa di kampung terpencil. Anak dipaksa ikut bantu bekerja di sawah/ladang/kebun, sehingga harus meninggalkan bangku sekolah. Guru ditinggal muridnya ketika masa panen tiba, sehingga kelas terlihat kosong menjadi pemandangan yang biasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline