Soekarno dengan kata bijaknya "Jika kita memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya" ini, mungkin saja, jadi inspirasi sekaligus motivasi sosok "Soe Hok Gie" yang pernah dilakukan melalui kiprah perjuangan politiknya.
Memang, ketika posisi berada diluar kekuasaan, ada banyak pilihan cara mengkritisi pemerintah. Bisa melalui institusi yang diibaratkan "Kuda Troya" dalam menyorongkan ide gagasan, maupun cara demonstrasi jalanan, memobolisasi mahasiswa dengan sistem sel.
Penamaan etnis sebagai keturunan Tionghoa memang sensitive dalam penyebutan dan pemaknaannya, kalau perspektif dan sikap politisnya belum memahami dengan benar soal tafsir dan konsekwensi politis terhadap arti dan makna Bhinneka Tunggal Ika.
Karenanya, dan siapapun mereka, berasal dari etnis apapun, hingga latar belakang politiknya sekalipun, jika mereka turut dan pernah berkontribusi memperbaiki dan mengangkat kedaulatan dan kemartabatan bangsa-negara ini, patut mendapat apresiasi.
Meskipun, atas keberanian dan keyakinan terhadap kebenaran subyektinya tersebut, harus menghadapi dan menanggung konsekwensi (politik-hukum) yang harus dibayar bahkan menyakitkan subyek pelakunya.
Kata bijak Soe Hok Gie soal kehidupan mengatakan "Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka" ini bisa dimaknai sebagai sikap politiknya atas kritik dan perlawanannya terhadap prilaku pemerintah Orde Lama saat itu.
Pilihan menjadi apatis bagi mahasiswa tidak salah, bahkan itu juga pilahan sadar atas keputusan politiknya. Banyak alasan dan argumen sebagai pembenaran atas ketidak-pedulian mereka, terhadap berbagai masalah sosial maupun politik yang tampak nyata di depannya.
Meskipun, dengan mengikuti pilihan kedua, tafsir politisnya juga sama, akan selalu tunduk dan patuh dengan berbagai kebijakan politik pemerintah penguasa, selama apa yang dilakukan bisa memenuhi hasrat politik dan harapan ekonomi sebagai tujuan hidupnya. Kenyamanan dan kesejahteraan hidup.
Pesan moral yang disampaikan Gie untuk menjadi manusia bebas, bisa jadi, memang dengan sengaja disamarkan maksud dibalik kata ajakannya itu. Tafsirnya bisa berarti, sebuah pengaruh lewat propaganda untuk memberontak bersama, atas segala ketidakadilan yang dirasa dan dijalaninya sebagai warga bangsa.
Sejak kecil, Soe Hok Gie, berdasarkan cerita kawan dan literatur terbatas mendeskripsikan sebagai sosok diri seorang pemberontak. Nuraninya gampang tersentuh saat melihat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Nasibnya memang tidak seberuntung kawan-kawan seperjuangannya, ketika menjadi salah satu pemimpin mahasiswa dalam aksi menumbangkan Orde Lama pada 1966. Paska tumbangnya rezim Orde Lama, ada beberapa kawan seperjuanngnya memang memilih jalan masuk dan menjadi bagian dari sistem politik pemerintah penguasa.