Lihat ke Halaman Asli

Mengasuh Anak

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Angin kencang yang membelai wajahku. Awan abu-abu semakin menebal, namun air hujan pun tak turun setetespun. Dengan sedikit galau karena pakaianku di dalam almari mulai habis sedikit demi sedikit, mendung akhir-akhir ini memang membuat bajuku di jemuran menjadi bau dan tak kunjung kering.
Sore ini aku semakin gelisah memikirkan kata-kata ayahku tadi pagi, kamu harus lulus sarjana tahun ini. kata-kata itu mengiang-ngiang di pikiranku. Aku heran, Bagaimana ayahku bisa mengasuh anak-anaknya dengan tipe gaya pengasuhan yang berbeda-beda
Ayahku mengasuh Anak pertamanya yang ia adalah kakakku, dengan pengasuhan yang otoritarian (authoritarian parenting). Ayahku selalu membatasi apa saja yang dilakukan kakakku dan sering menghukumnya jika kakakku melakukan kesalahan. Ibu dan ayahku membatasi dan mengendalikan kehidupannya. Terbukti ketika kedua orangtuaku menjodohkan kakakku dengan anak temannya. aku geram karena orangtua tidak memberikan peluang kepadanya, atau memusyawarahkan keinginannya. Kakakku menjadi pribadi yang pasrah, tidak komunikatif, dingin, cemas, takut, tidak bahagia, tidak ekspresif, yang ada dipikirannya hanya bahwa ia harus menghormati dan mematuhi orang tua.
“Kamu serius mau nikah kak???” Tanyaku sedikit tidak percaya.
“Iya...” jawabnya dengan ekspresi wajah yang datar
“tapi kamu tau orangnya kan?” tanyaku lagi.
“(mengangguk)”.
“tau wajahnya??tau pribadinya?? Tau sifatnya? Karakternya? Oh my god... kakak,,yang ekspresif dong....” geram kepadanya.
“iya aku tau,,,sudahlah tidak usah kau pikir,,,” jawabnya
“tapi kak,,ini untuk kehidupan kakak nantinya, ini masa depan kakak,,,,”
Namun kakakku hanya diam dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Ayahku mengasuhku dengan pengasuhan otoritatif (authoritative parenting). Orang tuaku mengasuhku dan membiarkanku untuk lebih mandiri, tapi mereka masih punya batasan dan kendali. Mereka juga bersikap hangat kepadaku dengan merangkul dan tak jarang mereka juga mengarahkan dan memberikan solusi jika aku mempunyai masalah.
Namun suatu hari tiba-tiba suatu masalah datang dalam kehidupanku ketika aku duduk di bangku perkuliahan.
Tak kuasa aku menahan air mata ku, melihat wajah mereka berdua di dalam foto yang seakan-akan menaruh harapan penuh kepadaku. Jika semua sudah menjadi takdir, bagaimana aku bisa menolaknya. Bisa di bilang kedua orang tuaku adalah keluarga yang mampu, aku hampir tak pernah kekurangan uang, semua kebutuhanku terpenuhi, semua yang kuinginkan terwujud. Namun aku selalu cemas dengan kecemasanku sendiri. Jelas sudah aku tak punya dasar yang cukup untuk studi yang sedang ku tempuh, berkali-kali aku mengelak, dan mengeluh ketidak sanggupan ini.
“ibu, sebenarnya aku tak mampu melanjutkan studi ini ibu,,,,”
“sudahlah nak, apa boleh buat, ini takdir yang harus kau jalani, yakinlah dengan kemampuanmu dan jalani yang terbaik menurutmu,,,, percayalah,,,” kata ibuku membesarkan hatiku.
Aku sudah tak sanggup jika mengeluh kepada mereka karena mereka telah memberikan semuanya kepadaku.
Terkadang aku berusaha menguatkan hatiku, membangkitkan semangatku, namun kepercayaan diri itu tiba-tiba pudar melihat teman-temanku lebih hebat, aku tak kuat menahan persaingan antar temanku. Kata-kata ibuku tak pernah kulupakan “kamu pasti bisa....”
Yang ketiga Bobi, Entah mengapa ayahku dan ibuku seakan-akan tak peduli dengan adikku yang satu ini memang dari semua keluarga kami Bobilah yang berbeda. Aku, kakakku, adikku yang paling kecil, citra namanya dan kedua orang tuaku mempunyai paras yang cantik dan tampan, hidung yang mancung, dan berkulit kuning langsat. Namun tidak dengan Bobi, yang berkulit hitam manis tak jarang tetangga sering mengolok-ngolok karena perbedaan kami. Orang tuaku mengasuh Bobi cenderung melalaikan (neglectful parenting). Mereka cenderung tidak mau terlibat pada kehidupannya. Akibatnya bobi tidak kompeten secara sosial, tidak memiliki kendali diri dan tidak mampu menganani independensi secara baik.
Yang keempat adalah citra, ayahku mengasuhnya dengan memanjakanya atau bisa disebut (indulgent parenting). Semua yang dlakukan Citra selalu dituruti oleh orang tua. Orang tuaku sangat terlibat pada kehidupan Citra. Mereka membiarkan citra melakukan segala sesuatu yang citra inginkan tanpa tuntutan. Akibatnya Citra menjadi anak yang egois, kurang bisa bertanggung jawab, kurang bisa menghormati orang lain dan sulit mengendalikan perilaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline