Lihat ke Halaman Asli

Hujan

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

HUJAN
Sore ini hujan deras, langit mulai gelap, melihat tetesan-tetesan air itu, dingin. Aku duduk di teras jemuran di kos-kosan, berpikir tentang mata kuliah psiko perkembangan hari ini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia . Aku Maya, mahasiswi salah satu Universitas terkenal di Jakarta. Bagaimana tidak, betapa beratnya menjadi seorang ibu, betapa peran ibu sangat penting bagi perkembangan anak-anaknya, kesabaran, ketelatenan, teringat ketika nenekku menceritakan perjuangannya ketika melahirkan ku. “waktu itu dokter yang menangani ibumu masih dokter muda sampai akhirnya terjadi kesalahan ketika melahirkan sehingga ibumu mengalami pendarahan hebat ketika melahirkan, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit. Seandainya ibumu menyerah ketika melahirkanmu mungkin ibumu tidak akan berada disini membesarkanmu, jangan pernah menyakiti hati ibumu”. Pesan nenek masih sering tengiang-ngiang dalam pikiranku karena sikapku yang keterlaluan terhadap ibu waktu itu. Bagaimana tidak, ketika seorang ibu yang sedang mengandung harus menjaga kesehatan dirinya dan kesehatan janinnya, kesehatan gizinya, harus menjaga sikapnya agar tidak berpengaruh pada janinnya. Atau menjaga emosinya, meningkatkan ibadahnya membaca alqur’an, mengikuti pengajian-pengajian rutin, berharap anaknya kelak menjadi anak yang sholeh atau sholehah dan menjadi anak yang baik, berharap anaknya menjadi anak yang berguna bagi agama dan bangsa.
Teringat waktu itu aku marah karena akan di suruh “mondok” di pesantren terkenal di Jawa Timur. “aku gag mau mondok, pondok itu kuno gag keren aku sekolah di sekolah negeri saja” kataku dengan tegas. “nak, mondok itu enak, banyak teman, asyik, kamu harus belajar agama disana, disana banyak orang-orang yang baik, lingkungan yang baik, banyak orang-orang yang berilmu, ibu ingin kamu menjadi anak yang pintar agama, ibu ingin kamu menjadi wanita yang sholehah,” kata ibu. Namun aku menolak dengan tegas sampai tidak mau makan dan tidak berbicara pada ibuku selama berhari-hari. Sampai akhirnya ibu pun mengalah, namun pesan ayahku yang sampai saat ini masih teringat di benakku. “kalau kamu tidak mau ke pondok pesantren, suatu saat nanti kamu akan menyesal dalam hidupmu.” Kata ayahku.
Kini aku merasa benar-benar mengalami penyesalan itu. Penyesalan dalam hidupku karena tidak punya bekal agama yang cukup, karena agama yang akan menerangi hidupku, penyesalan karena tidak punya pengalaman-pengalaman seperti teman-temanku yang mondok di pesantren dulu, yang pintar agamanya aku ingin seperti mereka. Kini aku benar-benar mengalami penyesalan itu. Kini aku berpikir bahwa kedua orang tua terutama seorang ibu sangat berperan penting dalam kehidupan di dunia ini.

Aku mengerti mengapa orang tuaku sangat bersikeras untuk menyuruhku kuliah setelah SMA “pokoknya kamu harus kuliah, Ibu dan Ayah ingin punya anak lulusan sarjana.”kata ayahku,karena keinginanku bekerja di pabrik atau warung saja. Aku mengerti karena orang tuaku ingin aku menjadi pribadi yang baik, menjadi wanita yang cerdas, karena wanita yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas. Aku prihatin karena di negara ini masih banyak perempuan di bawah umur yang sudah dinikahkan oleh orang tuanya karena bermacam-macam alasan. Ada yang bilang agar mengurangi tanggungan keluarga, dll.Padahal mereka masih di bawah umur, masih belum dewasa sepenuhnya, aku kasihan karena mereka kehilangan masa mudanya. Aku prihatin karena itu akan berpengaruh pada anak-anaknya kelak, kalau masih banyak fenomena seperti ini bagaimana sumber daya manusia Indonesia kelak?
“May, beli makan diluar yuk, laper nich.” Arin tiba-tiba membangunkan lamunanku, mengingatkan aku bahwa aku harus menghadapi masa depan, dan belajar dari masa lalu, bersyukur dengan kenikmatan hidup ini. “iya bentar.” Kataku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline