"Toko Kelontong". Masih adakah orang yang menyebut dua katanya ini dalam percakapan sehari-hari? Laju zaman dan rentang lapis generasi, semakin membuat dua kata ini menghilang dari benak.
Mungkin masih tersisa ingatan, terutama dalam kenangan sebagian generasi yang menamai dirinya secara jenaka sebagai "Generasi Kolonial". Namun, perlahan tapi pasti, ingatan ini terus melambaikan tangan perpisahan. Diisi oleh banyak disrupsi yang kian membenamkannya.
Bagi generasi lebih muda, ingatan ini tenggelam bersama kisah masa kecil mereka. Menjadi bagian dari hal-hal yang terasa kuno. Ia bisa pergi tanpa perlu dikenang. Bukan dalam rupa karya "heritage" yang perlu dirawat agar tegar menyongsong datangnya berlapis generasi.
Bagi generasi terkini, sebagaimana dikenali sebagai generasi yang lahir tanpa pernah membaca koran dan menonton TV, pengalaman berbelanja adalah bagian dari kegiatan berselancar di internet atau aktivitas rekreasi di pusat perbelanjaan mega dan megah.
Melalui bacaan, pemberitaan, atau tontonan di YouTube tentang topik disrupsi, kita dibuat paham atas apa yang sedang terjadi. Mula-mula lahir supermarket, kemudian disusul hipermarket. Lalu, datanglah mini market. Format yang terakhir ini, membanjir. Penetrasinya agresif dan jauh, mengingatkan kita pada lagu Bengawan Solo.
Melalui kerangka dan arus berpikir disrupsi, maka dapat disimpulkan bahwa nafas hidup toko kelontong sudah selesai. Semua yang masih eksis hingga hari ini, tak lebih dari menjalani masa berhitung mundur; hingga bendera putih tanda menyerah berkibar.
Namun kisah atau sebutlah jalan takdir ini, tampaknya akan menempuh jalan lain. Apa yang kita pandang sebagai bagian dari konsekuensi dan daur hidup yang organik, belum tentu akan sependek itu siklus hidupnya. Secercah harapan bersinar saat bendera putih itu bersalin rupa melalui kiprah SRC.
Toko Kelontong Berdandan Merah
Bermula dari inisiatif kecil yang berlangsung di kota Medan, Sumatera Utara sana. Gerakan kecil untuk memberikan penguatan bagi denyut usaha kecil dan menengah (UKM) itu kian dirasakan manfaatnya. Hingga kemudian, inisiatif SRC ini diputuskan untuk dihadirkan dalam jangkauan nusantara.
SRC hari ini, telah makin dikenal sebagai mitra bagi toko kelontong untuk bangkit. Pendampingan dan edukasi berkelanjutan yang diberikan sebagai bagian dari kontribusi sosial, seperti suntikan nyawa bagi toko-toko tradisional untuk tidak mudah menyerah.
Kisah ini bisa ditemukan dalam perjalanan usaha Purwanto, pemilik toko kelontong Rukun yang berlokasi di Jalan Parangtritis, Yogyakarta. Bersisian dengan Losmen Rukun (Google Maps), toko kelontong ini bermula tak lebih dari sekadar lapak berukuran kecil.
Saat dikelola ayah mertuanya, toko kelontong Rukun belum merasa perlu diapa-apakan. Tahun berganti, kemudian pengelolaannya diteruskan oleh Purwanto. Sejak itu dirasakan telah tiba saatnya untuk melakukan pengembangan. Uluran tangan bantuan SCR yang semula ditampik, mendapat giliran diterima dengan sambutan hangat.
Momentum yang berlangsung tahun 2017 itu, membawa berkah berlipat bagi toko kelontong Rukun. "Toko ini sampai perlu dibongkar bangun sebanyak tiga kali," tutur sang pengelola yang dikenal dengan nama panggilan Pak Wanto. Alhasil, bila Anda dalam perjalanan piknik ke Pantai Parangtritis atau menginap di Losmen Rukun, jangan lupa menengoknya.