Petang masih menyimpan gigitan mentari ketika saya membuang tubuh dari atas fast boat Dream Beach Express 2 untuk membenamkan kaki di bibir pantai Mushroom Beach, Nusa Lembongan, Bali. Saya terpekik kecil saat menatap lebih jauh, bersitatap dengan hamparan pasir putih dengan butir-butir halus yang ramah di telapak kaki.
Ingatan bergegas melempar saya ke belahan pantai Tanjung Karang di Donggala, Sulawesi Tengah sana, yang sejak saya tinggalkan selalu menjadi standar kualitas dalam memandang sebuah pantai. Di sini, saya menemukan Tanjung Karang lain, dengan warna pasir yang mengalahkan arsip ingatan saya akan pantai berpasir putih di Hua Hin, Thailand.
Di sore ini, lelah dalam menanti selama setengah jam plus perjalanan lebih dari tiga puluh menit dari Pantai Sanur menuju Mushroom Beach, terbayar tuntas. Usai puas memanjakan telapak kaki dengan riang, saya melepas pandang menuju kejauhan. Hanya ada gemawan sedang berparade, beberapa boat, dan sepasang turis asing sedang menikmati laut seperti kanak-kanak menemukan dunianya.
Sayang saya tidak memiliki kemewahan waktu di sini, karena mobil angkutan untuk membawa saya ke sisi pantai lain di dusun Jungutbatu telah menanti. Bersama dua turis asal Spanyol yang turun di sebuah homestay, kami menyusuri jalanan desa. Memasuki dusun Jungutbatu dan bergerak ke arah pantai, saya disergap keramaian. Ruas jalan lurus ke pantai ditutup. Kendaraan dialihkan, dan sebagai pengganti tampak pergerakan banyak perempuan menuju pantai.
Dengan alasan hendak menyambangi arena Nusa Penida Festival, mobil yang saya tumpangi diizinkan masuk hingga bibir gerbang masuk festival. Dengan menggeret koper dan memanggul ransel, saya larut di antara stand-stand dan seliweran perempuan tua maupun muda.
Saya mendapat info bahwa mereka adalah para penari yang sore ini akan menjalani gladi resik, maka saya pun segera meninggalkan pantai untuk mencari homestay terdekat. Usai check in, saya bergegas kembali ke keluasan Pantai Mahagiri ini.
Gladi resik telah dimulai. Berbanjar-banjar perempuan penari membentuk barisan rapi. Sisi tengah, diisi penari dan orang-orang yang khusus akan menjalankan upacara. Senyampang itu, saya berkeliling mengitari area menari ini dengan perasaan riang yang meluap karena menjelajah pantai berpasir putih seluas ini. Berfoto-foto, membuat video-video pendek untuk Twitter, merendam kaki di air laut yang tenang, memandang boat yang lalu lalang, dan tak bosan menatap langit biru yang membentang, saya tak punya surga lain untuk diperbandingkan.
Semua perempuan penari menghadap utara, menyongsong wajah laut. Stand-stand dibangun di belakangnya, sementara panggung besar dibangun di sisi kanan (timur) dengan arah pandang ke barat. Saya kemudian paham filosofi ini, bahwa para penari menghadap ke utara agar berhadapan dengan laut sebagai sikap penghormatan, karena lautlah yang menjadi penopang hidup warga Nusa Lembongan selama ini.
Ketika latihan sedang jeda dan seorang instruktur sedang memberikan koreksi gerakan di atas panggung, saya pun melipir ke pojok. Tiba di sana, sang instruktur sudah menepi dan duduk di atas pasir bersama penari lainnya. Saya segera bersimpuh di sisinya dan menanyakan beberapa hal, namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dan ia harus pergi karena kesibukannya. Tak putus saya, saya mengajukan pertanyaan ke perempuan penari lain dan mendapatkan sepintas cerita menarik.
Esoknya, hari yang ditunggu pun tiba. Sebanyak 1500 perempuan penari pagi ini berbanjar-banjar memenuhi garis Pantai Mahagiri. Dengan busana tari putih dan kuning yang mencolok, mereka menarikan Rejang Dewa secara massal. Tiap-tiap banjar berasal dari 10 dusun, melibatkan perempuan-perempuan dewasa anak-anak sekolah mulai Kelas IV SD hingga SMA. Mereka berlatih secara terpisah tak lebih dari tujuh hari, sebelum berjumpa dalam gladi resik.
Tarian Rejang Dewa, tarian suci dalam menyambut kedatangan para dewa dari khayangan dan turun ke bumi, menjadi bagian dari upara Pakelem (larung laut). Anak kambing, angsa, dan bebek adalah hewan yang dilarungkan dalam upacara pagi ini. Pakelem merupakan adat warga Nusa Penida sebagai wujud terima kasih kepada alam yang telah memberikan kehidupan, dalam konsep Tri Hita Karana, bagi masyarakat Nusa Penida.