“Kehidupan bukan teka-teki untuk dipecahkan, melainkan serangkaian senyuman untuk dibagikan”
—Gede Prama
Hidup ini tampak melelahkan. Dibayangi kesia-siaan. Dan garing. Bahkan sebelum kita menempuhnya terlalu jauh. Itulah cahaya pandang bila bersandar pada bahu mitologi Yunani. Tugas manusia dalam kehidupan di muka bumi ini, tak lebih dari menunaikan serangkaian babak. Diawali Zaman Emas, diakhiri Zaman Besi. Dari kehidupan yang diwarnai gelak kebahagiaan, lalu memudar dalam tahapan selanjutnya. Saya membacanya di sini [Wikibuku], dengan tarikan napas panjang.
Pada Zaman Emas, manusia hidup bersama para dewa. Tak perlu bekerja keras, semua melimpah. Lalu tiba Zaman Perak, Zeus berkuasa dan dia membawa derita. Manusia harus berkeringat untuk mendapatkan sesuap nasi.
Usai memusnahkan umat manusia sebelumnya, pada Zaman Perunggu, Zeus mencipta ulang manusia. Sangat kuat dan gemar berperang. Dan Zeus, sekali lagi, pada Zaman Pahlawan, menciptakan umat manusia. Kali ini dengan perangai lebih baik, lahirlah para pahlawan gagah berani dan banyak berpetualang.
Periode terakhir adalah Zaman Besi. Ini adalah masa terburuk, kebaikan kalah oleh kejahatan. Anak-anak mengabaikan orangtua, saudara saling bertikai demi harta, rasa malu lenyap. Penipuan, pembunuhan, dan peperangan beriring dengan perilaku buruk lainnya.
Namun hidup yang saya kenali, tidaklah semata demikian. Dalam badai zaman sekalipun, selalu ada sinar cahaya pengharapan yang menerobos masuk dengan cemerlang. Selalu ada orang-orang dengan kerinduan meluap ingin berbuat kebaikan. Kikan dengan lagu Bendera memberi gambaran ini:
Biar saja ku tak sehebat matahari
Tapi slaluku coba tuk menghangatkanmu
Biar saja ku tak setegar batu karang
Tapi slalu ku coba tuk melindungimu
Biar saja ku tak seharum bunga mawar
Tapi slalu kucoba tuk mengharumkanmu
Biar saja ku tak seelok langit sore
Tapi slalu kucoba tuk mengindahkanmu
Lebih sublim, menukik dan mendalam, saya tak pernah bisa melupakan penggalan puisi Zawawi Imron, penyair asal Madura, berjudul Ibu. Puisi membalikkan paradigma kita tentang pahlawan sebagai “sosok besar” yang berkiprah nasional dan internasional, atas nama kemanusiaan, dan narasi-narasi besar lainnya—orang-orang yang dihadiahi gelar agung, penghargaan ini-itu, bahkan bila perlu saat perpisahan abadi tiba, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tidak. Bukan itu. Zawawi Imron menulis:
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Merawat Jiwa Agar Semakin Bercahaya