Saya tidak punya kemampuan yang baik dalam mengulas (review) produk/brand. Kerap kali, saya kehabisan akal untuk menghidupkan benda-benda mati semacam ini. Itu sebabnya saat berjumpa dengan Riana Dewie (salah seorang pengelola KJOG—Komunitas Kompasianer Jogjakarta), saya suka merajuk minta diajari olehnya.
Riana Dewie, sebagaimana kita ketahui, hampir selalu menjadi pelanggan dalam kompetisi mengulas produk—sepeda motor, museum, hingga yang paling sering: Smartphone. Ia sudah melalang hingga ke Negeri Singa untuk menghadiri peluncuran sebuah (merek) smartphone yang dibarengi dolan-dolan cuci mata (city tour), sebagai ganjaran atas prestasinya mengulas smartphone tersebut di Kompasiana.
Itu pula sebabnya saya terkagum-kagum saat membaca salah satu ulasan kuliner dari seorang Sarie Febriane lalu tak mampu menahan diri untuk tidak menuliskannya di Kompasiana. [Baca: Menikmati Puding Hangat Sarie Febriane] Perempuan wartawan harian Kompas dengan kompetensi ilmu antiteroris (cmiiw), kemudian saya jumpai juga bernas dalam mengulas film. “Kenal Sarie? ... Dia memang gitu,” kata Sri Rejeki, wartawan Kompas lainnya yang belum lama ini mengisi kelas Feature di event Belajar Bareng KompasTV di kampus Atma Jaya, Yogyakarta.
Di area ulas-mengulas lainnya, pastinya saya juga nenikmati dan belajar banyak dari cara berkisah Windy Ariestanty. Lama menjadi editor kantoran sebuah kelompok penerbit, kini pendiri dan pengelola Writing Table, Windy pernah menerbit sebuah travelogue bertajuk Life Traveler: Suatu Ketika di Sebuah Perjalanan.
Cara mencatatnya yang sangat kerap mendecakkan lidah, menyertai spot-spot image dalam rangkaian perjalanan yang ia abadikan dan bagikan di media sosial. Sebagai editor fiksi, tentu Windy mengenal Show Don't Tell (SDT) dengan baik dan mengoptimalnya dengan cara kreatif. Anda juga pengin belajar dari Windy? Tidak sulit kok, pantau saja akun IG miliknya.
Pelajaran Hari Ini
Dan pagi ini, saya kembali dikejutkan dengan ulasan ciamik atas sebuah resor yang muncul di halaman Klasika Jateng & DIY harian Kompas (13/9/16). Saat membuka lembaran harian Kompassection ketiga, pandangan saya tanpa sengaja bersirobok dengan artikel ini. Mula-mula saya tergoda oleh kerling "mata"nya, lalu tertawan tanpa perlawanan oleh semringah "senyum"nya—sebelum akhirnya menyantap tulisan ini hingga kalimat terakhir.
Judul adalah kerling mata bening beralis lentik dan first line (lead) tak ubahnya sungging senyum bibir ranum "seorang" rupawan. Itulah struktur wajah eksotik si penggoda. Diksi pada judul tulisan itu menuntun mata saya turun pada first line (lead), lalu lari ke nama penulis: Fellycia Novka Kuaranita. Hm, nama yang tak saya kenali.
Setelah dikerling oleh tajuk Semilir "Sihir" dari Pesisir... saya terpapar dengan first line ini:
Pagi pertama di daerah Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur, itu elok seperti puisi. Sinar matahari yang lembut jatuh memulas embun pada pucuk-pucuk daun. Angin mengajak dahan-dahan rimbun menari, menciptakan musik alam. Nun di arah timur, lautan membentang tepat di bawah sisi bukit dengan Pulau Bali di kejauhan.
Betapa visual!
Betapa romantik!
Sapuan kuas kata yang sederhana namun elok. Satu-satunya hal yang mengganggu alun baca saya adalah penggalan "Banyuwangi, Jawa Timur". Bagi telinga saya yang mendengarkan, itu terlalu "teknis" bunyinya dan agak menyendat bagi alir lancar alun baca. Mungkin, sekadar usul, perlu dipertimbangkan untuk digusur ke paragraf lain.
Paragraf kedua mendudukkan persoalan tentang keberadaan penulis. Ia berada di sebuah kamar dari sebuah resor yang hendak diulas. Tampak biasa saja, tapi Anda akan (kembali) menemukan penggalan yang dalam bahasa gaul disebut "kutip-able": Seperti sihir yang tak berhilir.
Sesuatu yang mengejutkan, muncul di paragraf ketiga. Ada telisip penggalan percakapan, yang membuat tulisan ini menjadi hidup. Jauh dari dugaan pembaca akan segera dihajar oleh paparan data benda mati dengan kalimat-kalimat pujian sebagai sebuah kewajiban bagi si pengulas—penulis review.