Hanggono mengkreasi getuk, Milda menjaga kesehatan warga, Suwono mengolah pupuk, Anik memberdayakan PSK, Dian mengembangkan batik, Bodro melatih ketrampilan warga, Siti mengelola cemilan, Slametmengopeni sampah, Supriyanto mengkreasi batik kayu, Wiwik & Indra merengkuh daya komunitas, dan Munadji bergiat di tani. Itulah sebagian kisah orang-orang “kecil” dengan daya hidup tegar dan pantang menyerah yang dipotret oleh buku ini.
Dominggus membangkitkan petani, Taryat mengolah cokelat, Sunardi beternak lele, Ulyati berdaya dengan kerupuk, Syarief menjelma pionir tani, Solihin mengemas kreasi tas, Komunitas Mawar merangkai rotan, Faisal memberi nilai pada iket, dan Deni melejitkan tas warga. Itulah paruh pelengkap yang merangkum buku ini menjadi bacaan inspiratif yang mengusung kisah sukses dalam makna kegigihan yang berbuah bagi diri dan sesama.
Tidak. Anda tidak menjumpai tokoh dengan nama-nama menterang seperti Bill Gates, Steve Job, Sergey Brin, Donald Trump, atau nama-nama tenar lainnya dari beahan barat sana di dalam buku ini. Tidak juga nama-nama orang Indonesia yang kerap menghiasi halaman majalah-majalah yang memuat daftar kekayaan atau kisah sukses mereka dalam merambah dunia.
Hampir dapat dipastikan Anda belum tentu dapat mengenali seorang pun dari antara mereka. Namun, mereka bukanlah orang-orang yang kalah kasta dan patut diremehkan dengan sebutan pecundang. Benang merah yang mempertemukan Hanggono di Magelang, Milda Fitriawati di Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Anik Sriwatiah di Surabaya, Bodro Irawan di Pekalongan, dan Dominggu Nones di Halmahera Utara misalnya, adalah kegigihan untuk menaklukkan dan bersahabat dengan kerasnya kehidupan.
Memang, hidup ini tak pernah menjanjikan jalan lurus yang enak. Namun, siapa pun yang merelakan kaki dan tangannya dikotori apa pun, akan menuai buah manis yang tak akan pernah bisa dinikmati oleh orang yang menyerah pada dini hari. Itulah pilinan kisah yang disajikan oleh tangan-tangan trampil para blogger Kompasiana dalam menuturkan perjalanan keringat dan mungkin air mata dari orang-orang “biasa” yang menempuh hidup secara “tak biasa”—tak angkat tangan pada fakta hidup sekalipun tak ramah.
Afandi Sindo, Dody Kasman, Nanang Diyanto, Hadi Santoso, Gatot Swandito, Mubarok, dan Agung Budi Santoso adalah sebagian nama Kompasianer yang terlibat langsung sebagai penulis dalam buku terbitan Elex Media Komputindo ini. Anda juga bisa membaca nama Singgih Swasono, Hendra Wardhana, Majawati Oen, Dhanang Dhave, Isroi, dan Khairunisa Maslichul yang melengkapi bagian lain buku ini. Serta tentu Anda akan menjumpai nama Akhmad Fatkhulamin, Iskandar Zulkarnain, Evrina Budiastuti, Agung Soni, Didno, Nia Ayu Anggraeni, dan Fifin Nurdiyana yang membuat buku ini paripurna dalam 20 bab.
* * *
Menikmati kisah orang-orang yang, dalam bahasa ungkap Iwan Setyawan yang menulis novel 9 Summers 10 Autumns sebagai “untaian perjalanan dalam menapaki tangga kehidupan”, tak pelak saya menemukan “sebuah kompilasi cerita yang tak hanya sarat perjuangan, keberanian, dan keteguhan, tetapi juga menyentuh hati.”
Secara lebih mendalam, saya menemukan dua aspek yang membentang antartokoh dalam kompilasi ini. Pertama-tama, mereka berjuang untuk diri sendiri. Tetapi bila disimak lebih lanjut, kita akan memukan bahwa itu masih dalam satu paket dengan perjuangan dari mereka yang memberdayakan sesama. Sebut saja misalnya Milda sebagai Kader Kesehatan yang memberi diri untuk melayani warga di wilayah Kecamatan Kraksaan, Probolinggo (hlm 15). Atau Dominggus Nones yang bahkan tak lulus Sekolah Dasar namun mampu mengkoodinasi lebih dari 3500 petani dengan omzet mengejutkan (hlm 117). Demikian pula Syarief Hidayatullah, yang mampu menempatkan dirinya sebagai pionir taruna tani (hlm 157).
Mereka pun tidak mengerjakan hal muluk yang “wah”. Suwono dengan tak segan mengubah kotoran manusia menjadi pupuk organik yang mendatangkan banyak manfaat bagi orang lain (hlm 25). Bodro Irawan, membuka kursus komputer gratis (hlm 55). Sunardi yang memulai dengan “sisa” tenaga di usia pasca pensiun (hlm 133), bahkan Munadji tak pantang meski telah memasuki usia senja (hlm 103).
Beragam kisah ini secara tersirat menandai keberhasilan pemberdayaan nasabah oleh BTPN. Dukungan bantuan keuangan ibarat bahan bakar pemicu menggeloranya kehidupan sosok-sosok ini. Arief Daryanto, PhD, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Sekolah Bisnis IPB menyebut sebagai keberhasilan dalam “pengelolaan nasabah yang selama ini tak terlayani lembaga keuangan menjadi yang terlayani”.