Lihat ke Halaman Asli

Ang Tek Khun

TERVERIFIKASI

Content Strategist

Bila Wimar Witoelar Bicara Capres

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391595254298982948

Saya tergelitik menulis posting ini karena usai membaca serial tweet Wimar Witoelar tentang capres melalui akunnya, @wimar. Tatkala elit tertentu merendahkan kecerdasan masyarakat awam dalam memilih capres karena berselera Jokowi, bagi saya cukup mengejutkan akun @wimar berkicau yang menyuratkan dukungan pada Jokowi dalam nada rasional. Apakah Wimar Witoelar (selanjutnya: WW) sedang menempatkan dirinya di posisi yang salah? Atau, bertambahnya usia membuat WW merasa minder akan level kecerdasannya? Agar tak salah menafsirkan tweet beliau, ada baiknya saya copy paste di sini untuk memudahkan Anda membacanya sendiri:

  • Jokowi ideal dari yang mungkin, kecuali mau pilih Prabowo atau Bakrie. Tinggal didampingi orang solid dan cerdas.
  • Jokowi for Presideny
  • Jokowi for President, a choice both of hope and desperation. A rejection of unpalatable choices.
  • Jokowi for President, a choice both of hope and desperation. A rejection of unpalatable choices.
  • Elections will not produce the best but the least poor of other choices.
  • Jokowi adalah sarjana kehutanan yang mengerti perubahan iklim. Bisa mengendalikan deforestasi.
  • Jokowi's strength reflects popular voter support for "new" or "clean" leaders rather than the "old" style of politics in Indonesia.
  • Jokowi graduated with a degree from the Faculty of Forestry at Gadjah Mada University in 1985. He understands global warming.
  • Jokowi's VP must be intelligent, experienced and mature. The anchor for a dynamic team.
  • We have suffered from human rights abuse and corruption. Avoid those who are the epitome of such dangers.
  • Epitome: A representative or perfect example of a class or type: "He is seen . . . as the epitome of corruption."
  • A representative or perfect example of a class or type: "He is seen . . . as the epitome of state power and human rights abuse."
  • We do not want the epitome of corruption and abuse of state power. We want a fresh new start.
  • Delight in social media on Jokowi reflects desire to break free from old power. Foolish to team him up with a proxy traditional party leader
  • Supreme Megawati legacy would be to nominate Jokowi and allowing a competent VP-candidate. PDIP would win by landslide.
  • An intelligent Jokowi ticket will not need huge campaign funds. Support comes spontaneously.
  • Dulu dukung Faisal Basri, Sri Mulyani. Mereka orang terbaik Indonesia, tapi kini bukan capres. Kita dukung capres diantara yg ada: Jokowi.
  • The biggest issue of all is climate change. And politics is the most effective means to deal with it.
  • Ga usah pusingkan pilihan orang. Tentukan pilihan anda. Tiap orang punya satu suara

* * *

Saya tidak mengenal WW secara pribadi, namun "mengenal" beliau sejak acara Perspektif edisi paling awal tayang di televisi. Bagi saya kala itu, acara ini sangat mengejutkan dan host-nya, WW, menyeruak cerdas di antara orang-orang yang mengantarkan program-program lain. Lebih kemudian, ditandai dengan terbitnya buku Partai Orang Biasa. Tak ada keraguan sama sekali saat mendengar beliau diangkat sebagai salah seorang Juru Bicara Kepresidenan Indonesia semasa pemerintahan Abdurahman Wahid. Dalam serial tweet tersebut, saya menangkap nada lelah yang dalam terhadap kondisi Indonesia hari ini dan display orang-orang yang hendak maju nyapres. Bukan kelelahan "seorang rakyat yang bodoh dan berselera rendah dalam memilih calon presiden". Anda bisa melihat beliau tak begitu saja alpa rasional. Tweet-tweet ini tampaknya merepresentasikan pergulatan banyak orang akan pilihan-pilihan "pemimpin nyapres" yang tersedia. Ketika situasi tidak ideal, dan mungkin saja dalam politik tak akan pernah ada pilihan yang ideal, maka apabila ada pilihan alternatif yang "terbaik", itulah mungkin yang terbaik. Secara pragmatis, "metode" ini ibarat menaruh selembar kertas putih di atas meja guna menginventarisasi nama-nama, lalu mulailah bekerja keras dengan mencoret satu per satu nama yang "tak layak" dengan memperhadapkannya pada "daftar hitam" tertentu. Ketika layer demi layer tersebut sudah dilakukan dan Anda masih menemukan nama-nama tersisa, di situlah Anda bisa melihat cahaya pengharapan. Apabila Anda telah melakukan "pekerjaan rumah" tersebut, dan pilihan yang Anda lakukan dengan bersusah payah itu dilecehkan oleh elit-elit dari partai politik, dengarlah tips dari WW ini: "Ga usah pusingkan pilihan orang. Tentukan pilihan anda. Tiap orang punya satu suara". Bagi pembaca yang merasa WW melalui serial tweet-nya ini telah terseret dalam "politik praktis", selayaknya Anda membaca respons dari akun twitter Melda Wita Sitompul @msmelda:

  • pagi ini baca tweet @wimar yg juga statement politik paling penting.. akhirnya jadi tau kemana suara ini akan memilih
  • saya belum melihat calon presiden yang baik namun cara paling gampang, saya lihat perspektif @wimar saja!

Saya, dan barangkali juga sekian puluh juta orang lain yang, maaf, bukan "orang bodoh" dan "berselera rendah", ada di sisi Melda Wita Sitompul. Kelompok orang yang mungkin bisa digambarkan sebagai orang-orang yang merindukan tersedianya "kain bersih untuk mengelap meja yang kotor". Tidak lebih dari itu. Sebuah impian kecil dan tidak mewah. Setidaknya untuk even pemilu yang tampak masih berusia belia--untuk tidak menggunakan istilah Gus Dur dalam menyebut level "Taman Kanak-kanak". Salam kenal dan jabat takzim untuk Om WW. Terima kasih untuk tweet-nya. @angtekkhun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline