Lihat ke Halaman Asli

Ang Tek Khun

TERVERIFIKASI

Content Strategist

Baku Dapa Sama Tuturuga

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Alkisah diceritakan tentang Hiawatha kecil yang gerah diperlakukan dan dianggap kanak-kanak. Sebagai anak dari suku indian yang dinamis dan sigap menaklukkan alam, ia memutuskan untuk mengembara seorang diri sebagai pertanda dimasukinya fase dewasa agar tak diremehkan lagi. Dengan buntelan bekal dan bersenjatakan busur-panah, ia pamit pada keluarganya. Dengan berat hati, sang ayah mengizinkannya pergi membelah rimba. Namun, ayah yang bijaksana itu tahu bagaimana melindungi putranya. Ia pun menyelinap, diam-diam membuntuti putranya dalam menapaki rimba belantara, memastikan putranya akan selalu baik-baik saja. Di masa remaja, saya membaca kisah ini dengan senyum di kulum dan tawa geli di dalam hati.

Pada setiap budaya, tidak sulit kita menjumpai proses "pembaptisan" sebagai pertanda seorang kanak-kanak telah memasuki masa dewasa. Tidak sebanyak "pembaptisan" secara formal mungkin, namun selalu saja ada kisah-kisah nonformal yang mengukuhkan masa transisi ini. Termasuk warga Sulawesi dengan jenis kuliner tertentunya yang amat khas.

Tidak, kali ini dan di sini saya tidak ingin bercerita tentang kuliner ekstrem yang bagi orang tertentu cukup mendirikan bulu kuduk atau menstimulus suara "huek". Meskipun lidah saya tak lagi asing dengan sajian kuliner daging kelelawar (paniki), ular dan reptil tertentu, babi hutan, rusa (jonga), atau aneka hewan laut. Maka, dengarlah kisah sisi lain tentang bagaimana saya baku dapa sama sejenis masakan bernama Tuturuga yang menyengat lidah.

Terasa aneh memang bila lidah orang Sulawesi tidak pernah dibakar atau terbakar oleh pedasnya cabe yang terkandung dalam sajian kuliner Manado. Bukan cabe biasa, melainkan sejenis cabe rawit khas Sulawesi yang berukuran lebih mungil dari umumnya, namun sengatannya bervoltase tinggi. Semasa remaja, saya senang memetik cabe jenis ini di kebun dan mengirimkannya sebagai oleh-oleh untuk saudara di Pulau Jawa.

Menyantap masakan pedas barangkali adalah format lain dari proses seorang Hiawatha dalam meraih atribut "dewasa". Saya pun menjalaninya melalui media masakan "ngeri-ngeri sadap" bernama Tuturuga. Hm, jenis kuliner macam apa pula ini? Merujuk pada namanya, amat dekat dengan bahasa Portugis (tartaruga). Namun tentu saja dalam bahasa Indonesia kita familiar dengan kata penyu. Yup, ini sejenis kura-kura yang hidup damai di lautan luas dan bersahabat manis dengan Nemo. Jadi, so pastilah Tuturuga adalah sejenis olahan masakan menggunakan daging penyu dibalut dengan kekayaan rempah khas masakan Manado dengan kandungan cabe rawit yang mampu memicu terjadinya tsunami keringat bagi "pemangsa"nya.

Membaca penjabaran di atas, sudilah kiranya Anda tak tergesa melaporkan saya ke lembaga perlindungan hewan. Sumpah, sudah berbilang tahun lamanya saya tak pernah menyantap masakan ini lagi, karena saya akhirnya tahu benar derita yang harus dihadapi oleh seekor penyu dalam menyongsong ajalnya. Semasa saya remaja di Sulawesi dulu, penyu hidup dijajakan seperti seekor ayam hidup. Beberapa kali saya sempat mengikuti proses penjagalan hewan yang meluluhkan simpati hati ini. Saat dijagal, hewan ini berlinangan air mata. Dan saat dagingnya telah berwujud potongan-potongan pun, ia masih bergerak-gerak pertanda kehidupan belum berakhir.

Namun yang agak melegakan hati, masakan Tuturuga secara definitif "hanya" disantap oleh orang-orang di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Ambon, dan Irian Jaya. Dan di era mutakhir ini, daging yang diolah telah direvisi secara populer menggunakan daging ayam. Tangan-tangan kreatif telah menyulap olahan bumbu masak yang mungkin bisa dimiripkan seperti kari ini berdiversifikasi, meskipun penyebutan namanya masih menggunakan kata "tuturuga". Tangan-tangan kreatif ini pulalah yang paling berjasa memelihara dan mengembangkan warisan leluhur yang memperkaya dunia kuliner Indonesia.

Oya, tidak sulit menebak tips menyantap masakan ini. Di sisi piring makan Anda, dekatkanlah air minum yang cukup dan sebungkus tisu. Level pedasnya yang membakar lidah selalu siap membuat Anda mengucurkan keringat. Namun, Anda tidak akan mudah dibuat berhenti, karena kelezatannya selalu menagih lidah dan tangan Anda akan sukarela meraih dan meraihnya lagi. Di samping tips tersebut, saya menggunakan trik "nakal" untuk lolos dari sengatannya. Caranya mudah, sediakanlah setengah gelas air tempat daging Tuturuga mampir sebelum masuk ke dalam mulut. Bagian yang agak sulit sekaligus terlezat bagi saya kala itu adalah menyantap paru Tuturuga. Bentuknya yang mirip spons membuat saya harus melakukan pekerjaan memeras kuah pedas yang diserapnya.

Jika Hiawatha tampak lugu dalam aksinya, maka saya bolehlah berbangga lebih cerdik dalam melalui proses untuk "tampak" dewasa ini. Namun, sejarah kemudian mencatat Hiawatha juga mampu melalui proses menjadi dewasa dan dikenal sebagai pemimpin dan pendiri konfederasi Iroquois. Wikipedia menuturkan, Hiawatha hidup pada abad ke-16 dan sebelumnya merupakan kepala suku Onondaga atau Mohawk. Ia seorang orator yang karismatik, berhasil meyakinkan suku Seneca, Cayuga, Onondaga, Oneida, dan Mohawk, agar mendukung visi Deganawida dan bersatu membentuk konfederasi Iroquois (dan kelak suku Tuscarora pun bergabung). Wow, hebat kan? Sementara saya yang lebih cerdik mengakali Tuturuga, hingga kini belum juga dicapreskan oleh siapa pun.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline