Lihat ke Halaman Asli

Ang Tek Khun

TERVERIFIKASI

Content Strategist

7 Alasan Ahok Menolak Kepala Daerah Dipilih DPRD

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usulan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, serta wali kota) melalui DPRD tengah dibahas oleh Panja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dengan Kementerian Dalam Negeri. RUU ini diperkirakan akan berhasil digolkan karena parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih "tiba-tiba" berubah sikap untuk setuju. Padahal, pada pembahasan Mei 2014 tidak ada fraksi di DPR yang memilih mekanisme pemilihan gubernur oleh DPR.

Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada di DPR. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD. Ketiga, gubernur dipilih langsung tapi bupati dan walikota dipilih DPRD.

Menanggapi hal ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) langsung menyatakan ketidaksetujuan. Jika bukan pemilihan langsung, menurut ia itu merupakan kemunduran dan melupakan arti reformasi. "Yang ngusulin itu mah bukan negarawan. Pengecut. Pikiran pengecut," ucap Ahok lugas di Balaikota Jakarta, Senin (8/9/2014). Berikut 7 alasan penolakan Ahok.

1. Sesat Logika. Ahok menilai, alasan untuk mengubah mekanisme pemilihan Kepala Daerah tidak sesuai logika. Sebab pemerintah menyebut biaya Pilkada yang langsung dipilih rakyat selama ini cukup besar, maka disarankan agar kepala daerah dipilih melalui DPRD saja demi menghemat dana. "Alasannya biayanya mahal karena mesti nyogok rakyat. Lu aja bego mau nyogok rakyat. Jokowi-Ahok kagak nyogok tuh, tapi bisa kepilih .... Terbukti Pak Jokowi bisa jadi presiden kagak keluar duit juga," tegas Ahok.

2. Belum Pasti Mencermin Suara Rakyat. Komposisi anggota Dewan berdasarkan wakil parpol tidak selalu berbanding lurus aspirasi rakyat. Ia mencontohkan kasus keterpilihan dirinya dan Jokowi di DKI. Gabungan partai pengusung mereka, PDI-P dan Gerindra, hanya ada sebanyak 17 anggota dari total 94 anggota DPRD periode 2009-2014. Sementara pendukung calon Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebanyak 77 anggota. Hasilnya, dalam putaran kedua pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok menang dengan jumlah suara atas 53%.

3. Anggota Dewan Cenderung Abaikan Publik. Anggota DPRD diperkirakan akan mengurusi kepentingannya sendiri bila dibandingkan dengan kepentingan publik/rakyat. "Pemilihan oleh rakyat itu yang paling benar dan DPRD yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan karena DPRD juga dipilih rakyat," tegas Ahok.

4. Kepala Daerah Cenderung Abaikan Publik. Pada masa Orde Baru hingga Reformasi, masyarakat Indonesia berasumsi kepala daerah (bupati, wali kota, gubernur) tidak pernah mengurus kepentingan masyarakat. Para kepala daerah itu hanya mengurusi kepentingan DPRD yang telah memilih mereka. "Kalau sampai rencana itu terealisasi, kepala daerah tidak akan mengurusi rakyatnya," duga Ahok.

5. DPRD Bisa Jadi Otoriter. Pada setiap tahun, ada pertanggungjawaban kinerja kepala daerah kepada DPRD. Jika anggota dewan menolak, kepala daerah langsung diberhentikan. Pada masa Orde Baru itu, DPRD menjadi pihak yang paling berkuasa. "Tiap hari gubernur dan wali kota mikirin gimana alokasi APBD untuk servis main golf, restoran, jalan-jalan ke luar negeri untuk anggota dewan. Kalau rakyat ngomel, kepala daerahnya enggak mau pusing karena yang menentukan dia terpilih jadi kepala daerah atau bukan kan sekelompok anggota dewan saja," jelas Ahok.

6. Rawan Permainan Uang. Ahok mensinyalir nantinya kepala daerah akan jadi sapi perah DPRD karena setiap tahun ada pertanggungjawaban ke DPRD, bukan ke rakyat. Menurut dia, pemilihan itu dapat membuat praktik suap-menyuap semakin besar antar-calon eksekutif dan legislatif. "Kalau dipilih DPRD, nanti oknum anggota Dewan tambah kaya semua, main sogok-sogokan semua," ujar Ahok.

7. Tempat Berlindung Calon Tak Pantas. Pilkada tak langsung sarat membuka peluang bercokolnya kepala daerah tak pantas. Alasan penyelenggaran Pilkada melalui anggota dewan tidak memerlukan biaya yang mahal, tidak bisa diterima Ahok. "Mereka yang mengusulkan itu adalah orang-orang yang bukan berjiwa rakyat. Tolong yang mengusulkan itu jangan munafik, jangan hanya alasan biaya mahal, memang lebih murah nyogok anggota dewan, itu mah bukan negarawan dan pikirannya pengecut," tegasnya. Ia meyakini, apabila calon kepala daerah itu memiliki rekam jejak bagus, maka tidak akan keluar uang untuk menyuap warga.

Meski nantinya rencana pemilihan kepala daerah oleh DPRD direalisasikan, Ahok berharap diberlakukannya aturan setiap calon pejabat melakukan pembuktian harta terbalik. Harta kekayaan tidak hanya dicocokkan dengan sertifikat, tetapi juga diperiksa berasal dari mana, kemudian dicocokkan dengan pajak-pajak yang telah dibayar. Selama ini yang jadi masalah utama menyangkut perilaku pejabat adalah soal korupsi. Hal itu tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline