Lihat ke Halaman Asli

Ang Tek Khun

TERVERIFIKASI

Content Strategist

Berbagi Kisah dari Loket Reservasi Kereta Api

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413216049391601200

Selamat siang Bapak Ign. Jonan. Siang ini Bapak sedang di mana? Di ruangan kantor yang adem berpendingin atau sedang kepanasan blusukan di stasiun, di antara gerbong dan rel-rel kereta api? Saya percaya pemberitaan media bukanlah isapan jempol bahwa Bapak betah juga kelayapan di lapangan. Gelar The Best CEO 2013 tak menghalangi langkah Bapak untuk turut berpanas-panas dan "menikmati" bau keringat yang khas di area transportasi publik.

Siang ini, ketika artikel ini mulai saya tuliskan, kota Yogyakarta juga sedang disiram terik matahari. Mungkin tak jauh berbeda seperti liputan sebuah stasiun TV belum lama ini bahwa Jakarta kini mengalami lonjakan suhu 2-4 derajat lebih panas. Namun entah kesamber apa, saat sedang merencanakan perjalanan ke Surabaya, saya ingin membeli tiket langsung ke stasiun, seperti zaman dulu saat tiket belum bisa dijangkau lewat online. Padahal toko swalayan imut (mini market) hadir tepat di depan kantor saya, siap melayani penjualan tiket KA online. Ah, mungkin juga oleh dorongan supaya ngirit Rp15.000.

[caption id="attachment_366176" align="aligncenter" width="500" caption="Ini nomor antrean saya, ada informasi jam di situ"]

14132161481987890762

[/caption]

Saya tiba dari arah Selatan stasiun Tugu lewat pintu masuk Jalan Pasar Kembang. Dari area parkir, berjalan tak jauh. Lalu menaiki tangga, masuk, dan berbelok ke kiri. Di sebuah meja memencet tombol mesin yang memunculkan selembar nomor antrean. Terbaca angka 181 dan sesaat kemudian dari pengeras suara terdengar panggilan ke loket untuk pemegang nomor antrean 121. Setelah mengisi formulir pemesanan dan bengong entah mau ngapain, saya memutuskan untuk menikmati jalan kaki di seputaran stasiun sebelum kemudian terpikirkan untuk makan siang sebagai alternatif membunuh waktu yang produktif.

Tak butuh waktu terlalu lama, saya kemudian bergegas membayar sepiring gudeg dan melangkah kembali ke arah stasiun. Dalam perjalanan, saya menduga nomor antrean saya sudah terlewatkan. Sambil mengayunkan kaki saya merancang kalimat permintaan maaf dan senyum termanis. "Maaf, Mbak. Karena lapar, saya pergi makan siang. Nomor antrean saya sudah lewat, bolehkah saya mendapatkan layanan sekarang?"

Namun konsep kalimat itu tak perlu saya ucapkan, demikian juga senyum termanis saya batal diumbar. Pada mesin petunjuk nomor antrean tertera angka 160. Ups, masih 20 orang sebelum tiba giliran saya. Selama satu jam lebih saya tinggal, saya hanya kehilangan pengantre 39 orang.

14132162141306864975

Saya masih mengenali ruangan ini. Kini tidak berjubel seperti dulu. Dengan penataan kursi tunggu yang efisien, malah membuat ruangan itu lebih lapang. Kursi yang tersedia belum penuh. Namun saya memutuskan untuk berdiri saja dan mengedarkan mata untuk mengamati situasi. Pertama-tama, mata saya bersirobok dengan banner ini:

[caption id="attachment_366179" align="aligncenter" width="500" caption="Visi dan Misi PT KAI. Serta Motto: Anda Adalah Prioritas Kami"]

1413216272667641591

[/caption]

Saya melihat ke sekeliling. Tampak wajah-wajah lelah dan bosan. Dua orang bule yang duduk di kursi paling belakang, juga tampak kegerahan karena udara panas. Hm, saya yang orang Yogya juga kegerahan kok. Iseng, saya memandang dan menghitung AC yang terpasang. Seharusnya ada 6 buah, tapi tinggal 5 karena yang satu hanya terdapat jejaknya di tembok. Dan dua di antara 5 itu, tidak dalam posisi berfungsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline