Catatan Fiksi Saya...
#part 1
Pada satu waktu, Tuhan mengijinkan aku mengenal namamu terlebih dahulu, nama panjang salah ternyata ketika aku benar-benar mengenalmu. Berdebar, saat mendengar nama yang belum pernah ku jumpa, tanpa rasa tanpa bahasa. Hingga suatu pagi aku menyangka, itu adalah kamu, orang yang diceritakan oleh mereka.
Berselang hari, aku benar-benar mengenalmu. Dalam satu organisasi yang semua orang tahu menjadi satu kebanggaan tersendiri. Tanpa sadar hadirmu memberikan semangat tersendiri bagiku dan untuk kawan-kawanku. Mendapat pembimbing orang sedewasa kamu adalah sebuah mukjizat.
Tanpa sadar, hari mendekatkan kita. Aku semakin tahu siapa kamu. Kegaguman demi kekaguman mulai kuakui dengan sadar. Hingga pada puncaknya saat ku mengetahui, negara tujuanmu adalah negara impianku. Bahagia rasanya, karena mimpiku seolah terjawab oleh yang maha kuasa, jika negeri impianku itu dekat, dan kamupun bisa.
Kedekatan demi kedekatan ternyata membuat kita nyaman satu sama lain. Jika mereka bilang perempuan adalah makhluk perasa maka sangat berbeda jauh denganku. Sama sekali aku tak merasa apapun itu. Aku mengagumimu sebatas kagum. Aku sadar siapa aku, dan mimpiku masih jauh. Kedekatan kita memang tak dapat dipungkiri oleh alam. Hingga angin menyebarkan kabar dari satu telinga ketelinga yang lain. Telingaku panas, mengetahui hal ini. Hal yang menurutku biasa dan tak perlu diperjelas bagiku saat itu. Tapi tak demikian bagi mereka, satu, dua dan tiga hal sengaja mereka ciptakan untuk kerenggangan kita. Hingga akhirnya kita benar-benar renggang, terpisah oleh jarak dan waktu.
Disaat kita renggang karena kesalahpahaman, aku mulai merasa kehilangan. Kehilangan sosok kamu yang ternyata sangat perhatian, selalu melihatku dari kejauhan dan mengamatiku dari balik pintu. Betapa bodohnya aku, aku sama sekali tak merasa itu sebelumnya, aku merasakan ini justru ketika mulai ada kerenggangan.
Tepat saat kau meminta ijin untuk pergi menginjakkan kaki di negri yang ingin kau singgahi. Hatiku mulai gusar, satu dua dan tiga benang yang menjadi pondasi tenun hatiku terasa pelan-pelan kau lepaskan, hingga akhirnya tenun dalam hatiku benar-benar pudar meninggalkan penyesalan. Rasa yang muncul bersama penyesalan memang sungguh menyakitkan. Tapi apalah daya...
Berbagai cara kupikirkan agar ku bisa kembali menegur dan menyapamu. Aku hampir gila memikirkan cara itu. Aku dan kamu jauh. Jarak memisahkan, waktu memisahkan dan entah bagaimana dengan do'a, aku sama sekali tak mengerti. Satu masa ketika adrenalin merasa tinggi kuberanikan diri untuk menyapamu lewat ketikan tangan. Kau membalasnya, seolah tak ada lagi masalah, kau memberiku semangat, ya semangat. Betapa bahagianya aku kala itu jika kau tahu......
Semangatmu kubawa setiap waktu, pesanmu selalu berusaha kujalankan dengan seksama. Meski raga tak lagi bertemu tapi, semnagatmu melebihi kehadiran ragamu. Piring pecah memang tak akn kembali seperti semula meskipun kita meminta maaf padanya ribuan kali. Dalam kerenggangan, kita saling memperhatikan dalam diam. Aku merasa bersalah, dan entah bagaimana dengan kamu. Sampai sekarangpun aku belum pernah tahu, kamu tak pernah bilang, dan aku bukan Tuhan yang Maha tahu...
Kadang dan jarang kita saling menyapa, untuk sekedar bercanda yang sejujurnya melepas beratnya rasa rindu. Rindu apa dan rindu siapa, yang jelas itu hanya sebatas prasangka. Hari demi hari hingga berganti tahun aku menjalaninya, kamupun sama. Saling sendiri saling sepi dan kadang kita saling mengisi. Tak ada yang wah atau perlu di sorot, karena itu hanya sebatas prasangka. Tapi bagiku itu istimewa, tapi entah bagimu. Kadang kita mendiamkan, kadang kita tak saling memandang tapi kita saling melirik dari kejauhan. Entah, sebenarnya ini apa. Yang jelas aku tak pernah tahu. Yang ku tahu, meski tak jelas, kau pernah menjadi energiku. Bahkan pesanmu kala itu benar-benar ku simpan hingga aku benar mewujudkannya.