Lihat ke Halaman Asli

khumaediimam

Teruslah menebar kebaikan, karena kebaikan yang mana yang diridhai, tiada kita tahu

Menulis Itu Butuh Proses

Diperbarui: 29 Oktober 2020   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menulis. pixabay.com.

Untuk mahir menulis dibutuhkan proses yang panjang. Menulis bukanlah sebuah proses instan yang cepat saji, cepat jadi. Proses inilah yang menjadikan seorang penulis makan garam akan dunia kepenulisan, baik mengenai faktor internal maupun faktor-faktor eksternal berkaitan dengan tulisan-tulisannya. Semua itu akan terungkap melalui proses yang panjang. Butuh kesabaran dan keuletan. 

Seseorang yang terus berproses dalam menulis menjadikannya banyak ilmu dan pengalaman. Tulisan-tulisannya pun begitu terasa dan berbobot. Meski menulis tentang apa saja, biasanya memiliki karakter tersendiri pada setiap tulisannya. Bisa dari pemilihan judul, diksi yang digunakan atau dalam merangkai kalimat sehingga tersusun menjadi sebuah paragraf yang enak dibaca dan berkelanjutan. 

Saya sendiri, termasuk orang yang terus berproses menulis. Mulai dari nol, sampai sekarang terus menulis, termasuk di Kompasiana. Jatuh bangun, putus asa, pastinya hal itu pernah saya alami. Rasa senang, bahagia, juga sering saya rasakan dengan tulisan-tulisan saya. 

Proses awal saya menulis, sesungguhnya lebih didorong waktu itu karena jatuh cinta. Untuk mengungkapkan perasaan cinta, rindu, saat itu saya ungkapkan melalui untaian kata-kata, rangkaian kalimat melalui surat cinta. Maklum waktu itu belum ada hp. Alamat komunikasi yang trend saat itu baru telpon rumah, wartel. Sedang saya tak memilikinya. 

Asrama suci juga menjadi "penghalang" untuk kami bertemu. Satu-satunya jalan untuk menembus itu yakni dengan surat cinta. Itu pun saya lakukan secara sembunyi-sembunyi. Bisa berabe, kalau ketahuan pengurus pondok. 

Berawal dari menulis surat-surat cinta itulah, ketertarikan saya pada dunia menulis melebar, mulai senang membuat puisi dan cerpen. Beberapa kali ikut lomba namun tak pernah masuk nominasi. Maklum, mungkin saja puisi dan cerpen-cerpen saya bisa dibilang amatiran, naratif dan terbilang umum, tak ada yang istimewa. 

Selepas dari pesantren, saya melanjutkan diri ke perguruan tinggi di Kampus Putih, Yogyakarta. Disinilah saya menemukan suasana, wadah dan berproses menulis. Bergabung dengan teman-teman pers mahasiswa, bertemu dengan penulis-penulis buku, menjadikan saya termotifasi untuk bisa seperti mereka. 

Penulis realistis 

Di bangku perkuliahan saat itu saya mendapatkan mata kuliah penulisan artikel yang diampu oleh dosen Ahmad Munif, seorang novelis ternama. Ekspektasi saya tiba-tiba memudar ketika melihat sosoknya yang biasa-biasa saja, bahkan terbilang tua. Sebelum bertemu langsung dengannya, bayangan saya seorang Ahmad Munif adalah novelis muda yang tampan. Namun ternyata berbanding 180 derajat dengan kenyataannya. 

Dari beliaulah saya mulai tergugah untuk senang menulis. Apalagi ketika saya bermain ke rumahnya, tumpukan koran, kliping koran serta deretan buku hasil karyanya terpampang begitu rapih. Ia pun pernah memberikan wejangan yang sampai sekarang masih teringat selalu. 

"Menulis itu tidak harus yang berat-berat. Menulis itu apa yang kamu sukai. Menulislah sesuatu yang banyak orang sukai, menulislah tentang sesuatu yang banyak orang cari. Dan saya realistis, menulis untuk menghidupi keluarga". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline