Lihat ke Halaman Asli

khumaediimam

Teruslah menebar kebaikan, karena kebaikan yang mana yang diridhai, tiada kita tahu

Mengusir Jenuh Tunggu Giliran dengan Menulis

Diperbarui: 29 September 2020   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menunggu antrian periksa. Dokpri.

Salah satu aktifitas yang terkadang membosankan adalah menunggu. Menunggu apa saja, menunggu giliran, menunggu antrian atau menunggu kedatangan seseorang. Bagi mereka yang tak terbiasa dengan sebuah aktifitas menunggu, bisa jadi sangatlah membosankan, bahkan menyebalkan. Alih-alih tak sabar bisa naik darah atau angkat kaki dari tempat tersebut. 

Apalagi bagi mereka yang on time, disiplin dengan waktu. Oh Menunggu, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti adalah perbuatan konyol. Di era yang serba modern, semua bisa dijadwal, semua bisa diukur, bahkan bisa diatur, menunggu adalah sesuatu yang "ketinggalan", bahkan terbilang kurang profesional. 

Tetapi adakalanya menunggu sesuatu, menunggu giliran adalah satu keniscayaan, satu kebutuhan bahkan satu prosedur yang harus kita lalui. Sebagai contoh, sore ini saya harus sabar menunggu antrian untuk periksa gigi ke salah satu dokter gigi di Brebes. 

Ruang tunggu pasien, tak ada TV, tak ada koran. Dokpri.

Saya sadar dan tahu betul, berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan sang dokter gigi untuk memeriksa tiap pasiennya. Ya, kira-kira satu pasien bisa menghabiskan waktu 10-15 menit. Sedangkan di ruang tunggu sudah ada 10 pasien yang sedang mengantri. Otomatis, saya harus rela dan sabar menunggu giliran hingga 2 jam ke depan. Uhh, waktu yang cukup lama untuk sebuah kata "menunggu". Apalagi hanya menunggu giliran, disebuah ruangan. 

Kebetulan ruang tunggu yang aku tempati ini kurang menarik, hanya ruang tunggu pasien biasa. Tak ada TV, tak ada koran apalagi jaringan WiFi, ruangan pun tak ber-AC, cukup 2 kipas angin saja pengurang hawa panas atau sumuk. Aku bagai dalam aquarium berisikan pasien sakit gigi dari berbagai jenis dan usia. Semua bermasker, jaga jarak, tak ada komunikasi antar sesama. Maklum masih pandemi, dan itu memang yang dianjurkan protokol kesehatan. 

Beda dengan ruang tunggu dokter sebelah, ada TV, ada koran yang bisa saya baca sembari menunggu antrian. Ruangan pun ber-AC, bisa mengurangi rasa panas. Toilet dan musholla juga tersedia. Inilah selayaknya ruang tunggu pasien yang harus tersedia.

Tapi, sudahlah. Menunggu memang sudah kewajibanku selaku pasien. Semua pakai aturan. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi kejenuhan saat menunggu. Ya, saya pun mulai beraksi dengan ponsel saya. Tak ubahnya pasien lain yang memainkan jari jemarinya di layar sentuh androidnya. Tapi tidak bagi saya. Saya justru mencoba merangkai kata-kata, menulis sebuah artikel di kompasiana.com. 

Sebagian pasien mengisi waktu menunggu dengan bermain hp. Dokpri.

Menulis kini menjadi satu kebutuhan. Rasanya ada yang kurang, bila sehari saja saya tak menulis. Menulis apapun, apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan atau menulis sesuatu yang sedang saya fikirkan. Dengan menulis, saya bisa menuangkan perasaan dan jiwa saya. Meskipun dalam keadaan yang cukup menjemukan seperti sekarang ini. 

Sesungguhnya dengan menulis bisa menjadi terapi bahkan menjadi obat penghilang tersendiri. Dengan menulis bisa menghilangkan jemu, mengalirkan beku kejenuhan, apalagi di saat menunggu giliran atau antrian yang melelahkan. 

Imam Chumedi, KBC-28

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline