Baru kali ini saya dan keluarga mengunjungi Pabrik Gula (PG) Jatibarang Brebes. Meski sering saya melewatinya, tapi tak pernah masuk ke dalamnya. Minggu pagi kami sekeluarga, mencoba memasuki pabrik gula tua yang kini tak beroperasi lagi (06/09). Jarak antara PG Jatibarang dari pusat kota Brebes, hanya berkisar 14,4 km saja, atau bisa ditempuh selama 25 menit.
Memang belum lama, bangunan tua itu dibuka untuk wisata umum. Baru sekitar tahun 2019 lalu PG Jatibarang dibuka untuk wisata, menyusul taman besaran hijau di depannya yang dibuka beberapa tahun lalu, lebih dahulu.
PG Jatibarang itu tercatat dibangun sekitar tahun 1842 oleh NV Mij Tot Exploitile Der Surker Onderneming. Angka 1842 saya dapatkan pula pada sebuah lukisan mural di gedung tua itu.
Di gerbang masuk, kami sekeluarga hanya dimintai tiket masuk, 5000 per orangnya. Suasana sepi sangat terasa. Pabrik tua dengan beragam aneka mesinnya yang berkarat, menandakkan pabrik ini sudah tak lagi beroperasi. Padahal pabrik tersebut adalah salah satu milik BUMN. Namun sayang, kini tinggal kenangan saja.
Rerumputan liar tampak menyelimuti seisi pabrik. Bau angker masih agak terasa, maklum rumor horor PG Jatibarang sudah tak asing lagi. Ditambah lagi, ada kuburan tua di dalamnya, yang belum banyak orang tahu.
Untungnya, kami sekeluarga berkunjung di pagi hari. Hati kami tambah tegar dan tenang saat kujumpai pula serombongan gowes yang ternyata sudah berada di dalam pabrik.
Tak lama, mereka sudah menunggu di atas gerbong, kereta tua (baca: Spoer tebu) yang kini sudah dimodifikssi untuk dijalankan kembali, apa adanya. Kedatangan kami pun disambut beberapa petugas, segera kami menaiki kereta tua itu. Cukup dengan 5000 rupiah, tiap orangnya, bisa merasakan spoer tebu tempo dulu.
Beberapa keluarga pun berdatangan. Kami semua naik di atas gerbong, menyusuri rel kereta yang sudah lapuk di makan usia. Jalur rel yang kami lewati pun tak sempurna lagi, hanya sekitar 300 meteran saja. Rel sudah terputus. Lokomotif depan pun segera dilepas dan berbalik arah.
Gerbong kami berubah, semula di depan kini di belakang. Jalannya kereta pun pelan, diselingi bunyi gerbong tua yang begitu berat. Di sepanjang rel, kami disajikan pemandangan berupa ratusan gerbong tebu yang teronggok diantara semak-semak rerumputan.
Selepas naik kereta tua, kami sekeluarga belum puas. Segera kami menuju "Locomotief Remise 1916". Wah, saya jadi teringat film kesukaan anak saya. Ya, Thomas. Kudapati, stasiun lokomatif yang mengagumkan. Locomotief Remise ini merupakan stasiun termegah pada zamannya.
Konon hanya ada dua bangunan yang termegah saat itu, Locomotief Remise di Jatibarang, dan satu lagi di Rusia. Locomotief Remise merupakan garasi loko uap maupun loko diesel dengan 9 pintu.