Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari lagi. Ya, bulan suci Ramadhan, bulan yang mulia. Bulan penuh dengan keberkahan dan ampunan. Bulan dimana orang beriman diwajibkan melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan. Bulan yang sudah dinantikan oleh seluruh umat muslim di seantero jagad. Meski di tengah pandemi Corona, ternyata kehadiran Ramadhan tak membuat sebagian orang lemah, lesu. Mereka tetap bahagia, semangat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan layaknya tiada wabah Corona saja.
Kebahagiaan dan semangat menyambut Ramadhan itu diungkapkan dengan berbagai cara dan tradisi. Lain daerah lain budaya. Seperti halnya yng dilakukan oleh masyarakat jawa. Ketika bulan Sya'ban (jawa: ruwah) tinggal hitungan hari lagi. Sebagaian besar masyarakat melaksanakan tradisi ruwatan. Di daerah kami (Brebes, Jateng) lazim dengan istilah "Unggah-unggahan". Tradisi unggah-unggahan pada dasarnya yakni ungkapan syukur menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Unggah-unggahan antara satu desa dengan desa lainnya pun berbeda-beda, meski masih satu daerah. Sebut saja di desa Klampok kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Dahulu acara unggah-unggahan lebih menonjol dengan kemasan doa bersama dengan menyajikan beberapa sesaji atau makanan (baca; brekat) yang kemudiaan di bagi-bagi ke setiap warga.
Acara unggah-unggahan bisa digelar di tempat-tempat ibadah seperti di masjid atau mushola, atau dzikir-tahlil bersama di makam dengan ziarah kuburnya. Ada pula yang hanya bersedekah dengan membagikan brekat (nasi yang telah didoa'i) ke tetangga-tetangga sekitar.
Modifikasi tradisi
Seiring bergesernya waktu serta kesejahteraan warga yang kian meningkat. Unggah-unggahan yang dahulu identik dengan bagi-bagi nasi brekat, kini bergeser, banyak dari warga yang kini mengganti nasi dengan beragam kue. Mereka yang memodifikasi tradisi itu pun beralasan logis.
Yakni, kini tak ada lagi orang yang kurang makan nasi. Lagian bila setiap warga di kampung tersebut, semua membagikan nasi brekat, akan monoton dan menjemukan (jawa; mblenger). Akhirnya penggantian nasi dengan kue yang kekinian pun diikuti oleh sebagian besar warga. Ada yang berupa jajanan pasar, kue basah, roti, dan jenis makanan lainnya. Meski masih dijumpai, ada satu-dua warga yang bersikukuh tetap mebagikan nasi unggah-unggahan dalam bentuk brekat.
Lain halnya di desa istriku, desa Wangandalem kecamatan Brebebes. Dahulu memang setiap kepala keluarga membagi-bagikan brekat. Biasanya masing-masing keluarga sejumlah 7 brekat, serta menyerahkan nama-nama ahli kubur yang akan dibacakan doanya oleh sang Ustadz atau Kyai. Namun karena dipandang mubadzir, ketika setiap warga membawa 7 brekat. Bayangkan dalam satu rukun tetangga saja lebih dari 50 kepala keluarga.
Oleh karenanya, kami memodifikasi tradisi membuat brekat yang semula 7, kini cukup masing-masing keluarga dengan 2 brekat saja, selebihnya diuangkan seikhlasnya. Biasanya pengganti 5 Brekat lainnya diuangkan minimal 30 ribu rupiah. Uang ini lantas dikumpulkan. Dan terkumpul cukup lumayan banyak. Uang ini bisa dimanfaatkan untuk kas masjid atau mushola, ada pula yang disisihkan untuk kas RT untuk keperluan beragam kegiatan sosial keagamaan lainnya.
Selain acara ruwatan atau unggah-unggahan, tradisi menyambut datangnya Ramadhan lainnya yang tak kalah menarik, yakni Padusan. Padusan yakni mandi bersama, dengan maksud membersihkan diri baik lahir maupun batin. Tradisi ini banyak dijumpai di Jawa, khususnya Jogja, Solo dan sekitarnya.
Tapi tradisi ini tidak bisa ditemui di semua wilayah Jawa. Di Brebes contohnya. Bersih-bersih jelang Ramadahan biasanya dijumpai pada beberapa tempat ibadah, bukan mandi bersama di suatu tempat, seperti sungai atau tempat tertentu.