Tak bisa dipungkiri, dampak penyebaran virus Corona di Indonesia membuat sendi ekonomi melemah, aktivitas ekonomi semakin lumpuh. Warga terdampak Covid 19 merata di seluruh nusantara. Tak hanya di kota, tetapi merambah ke pelosok desa. Terjadi PHK besar-besaran, pengangguran merajalela, warga miskin semakin banyak. Dan Ironinya, tingkat kejahatan semakin meningkat. Meski belum begitu krisis, tapi sungguh rakyat dihadapkan pada masa-masa yang sangat sulit.
Dalam keadaan seperti inilah, negara harus hadir. Pemerintah wajib menjamin kebutuhan masyarakat, khususnya bagi mereka yang lemah, yang terdampak Covid 19. Dan akhirnya pemerintah pun mengeluarkan jurus pamungkasnya, yakni bakal mengeluarkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) melalui lembaga lintas sektoral.
Tentu, hal ini menjadi berita baik, angin segar bagi mereka yang benar-benar terdampak Covid 19. Namun, berkaca dari berbagai macam bantuan langsung tunai terdahulu, justru menyisakkan banyak polemik di masyarakat. Terutama terkait data penerima yang dinilai sebagian masyarakat kurang tepat sasaran. Di samping itu, kuota yang tidak mencukupi. Apalagi, pada saat ini. Sebagian besar masyarakat kecil sangat merasakan sekali dampak ekonomi dari penyebaran virus Corona.
Perihal pelaksanaan BLT, hari-hari ini pemerintah desa sedang mengalami polemik yang sangat pelik, yakni pendataan calon penerima BLT bagi keluarga miskin terdampak Covid 19. Pendataan sudah dimulai dari tingkat RT dan RW. Pemdes harus berusaha semaksimal mungkin agar Dana Desa (DD) yang nantinya dikeluarkan tepat sasaran, tidak meleset.
Sebagaimana ketentuan yang beredar, bahwa setiap desa yang mendapat jatah dana desa 800 juta, maka harus mengalokasikan 25 persen untuk BLT tersebut. Bagi desa yang dana desanya kisaran 1,2 Milyar harus menengalokasikan 30 persen dan bagi desa yang dana desanya di atas 1,2 Milyar harus siap mengalokasikan hingga 35 persen. Adapun ketentuan penerima BLT ini yakni mereka waraga miskin terdampak Corona yang belum tercover dalam bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau bantuan lainnya. Adapun besaran bantuannya, yakni 600 ribu rupiah perbulan, untuk tiga bulan. Tentu hal itu di luar anggaran gugus tugas Covid 19.
Mental Miskin
Tak bisa dipungkiri, mentalitas miskin masyarakat Indonesia masih cukup tinggi dibanding data kemiskinan yang ada. Apalagi di tengah pandemi Corona seperti sekarang ini. Hampir sebagian besar masyarakat mengaku miskin, karena ujung-ujungnya ingin mendapatkan bantuan yang sama. Sungguh niat pengalokasian bantuan bagi mereka yang terdampak Covid 19 adalah bentuk niatan baik pemerintah, tapi aturan tertulisnya ternyata menimbulkan banyak polemik di tengah mentalitas miskin masyarakat Indonesia.
Meski ketentuannya sudah jelas, bahwa pendataan tersebut diperuntukkan bagi mereka warga miskin terdampak Corona yang belum mendapatkan bantuan seperti PKH, BPNT, tapi nyatanya hampir sebagian besar warga berbondong-bondong menyerahkan foto copy KK dan KTP, tak terkecuali dilakukan pula oleh mereka yang sudah mendapatkan beragam bantuan. RT- RW pun kewalahan, salah kaprahnya, akhirnya hampir sebagian besar KK warganya diterima.
Perihal dapat atau tidak soal bantuannya, yang penting warga dapat diusulkan. Tentu, hal yang demikian adalah sesuatu yang keliru. Namun kekeliruan para RT, RW atau petugas pendata dalam mengumpulkan KK warga, tentu beralasan, bukan semata-mata karena ketidaktahuan, tetapi benar-benar karena desakan warganya. Dirinya sebagai ketua lingkungan dihadapakan seperti buah simalakama. Semua warganya ingin mendapatkan bantuan tersebut. Karena sama-sama terdampak. Sedang kuota satu desa, per- RT pun belum jelas akan dapat berapa kepala keluarga. Akhirnya ketua lingkungan "gebyah uyah" (pukul rata) mengajukan semua warganya.
Ketentuan per KK mendapatkan 600 ribu rupih pun bakal menjadi hal yang sulit bagi desa. Prosentase 25-35 persen pengalokasian dana desa untuk warga miskin terdampak Corona dipastikan belum tentu mengcover keluarga miskin di luar penerima PKH dan BPNT. Apalagi bagi desa dengan jumlah penduduk dan warga miskin banyak.
Sebagai contoh, di kabupaten Brebes saja angka kemiskinan masih 20 persen dari 2 juta jiwa penduduknya. Tentu alokasi dana desa sebesar itu tidak mencukupi. Ketentuan sudah berbunyi 600 ribu, tidak bisa dibagi lagi menjadi per keluarga 300 ribu atau 200 ribuan dengan harapan merata seperti pembagian beras miskin yang pada realiatanya dibagi rata, meski pada akhirnya banyak kepala desa yang mendekam dibalik jeruji penjara.
Validasi data menjadi kunci utama yang harus dilakukan secara terbuka dan transparan dari tingkat bawah. Semua harus dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. Jangan sampai validasi penerima bermuatan nepotisme petugas. Kita tidak bisa membayangkan, apa jadinya nanti ketika BLT ini sudah direalisasikan.