Siapa sih yang tidak kenal dengan Brebes? Ketika mendengar kota Brebes, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti terngiang dengan produk unggulannya, yakni bawang merah. Pendek kata, ingat bawang merah, ingat Brebes. Ya, hampir sebagian besar pesawahan di pesisir pantura digunakan untuk lahan pertanian bawang merah.
Begitu juga di sepanjang jalan pantura, banyak para pedagang menjajakan selain telur asin, juga bawang merah. Apalagi di musim mudik dan arus balik lebaran. Kita dapati layaknya pasar bawang dadakan. Dan tak dipungkiri, meski diusahakan secara tradisional, bawang merah Brebes termasuk komoditas yang diunggulkan. Bahkan Brebes tercatat sebagai pemasok bawang merah terbesar nasional.
Bawang merah Brebes terbilang unik, memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh bawang merah dari daerah lainnya. Salah satu keunikannya yakni, adanya angin kumbang yang berhembus dari selatan ke utara yang melintasi areal cocok tanam bawang merah tersebut.
Hal ini patut disyukuri oleh petani bawang merah Brebes, karena fenomena demikian tidak didapati di daerah lain. Alhasil, angin kumbang ini meningkatkan produktifitas bawang merah Brebes itu sendiri, baik dari segi kualitas maupun tonase.
Tak kalah menariknya, bawang merah Brebes memiliki cita rasa tersendiri dibanding dengan bawang merah dari daerah lain. Orang Brebes menyebutnya dengan kata lebih "mresa" (lebih teras bawangnya). Dan hal ini pun pun banyak dituturkan oleh para ibu rumah tangga.
Meskipun secara bentuk lebih kecil dari bawang Bombay, tetapi bawang merah Brebes lebih harum, lebih terasa nimat. Bagi masyarakat Brebes, tentu kelebihan tersebut, menjadi modal tersendiri dalam rangka meningkatkan produksi bawang merah guna meningkatkan derajat ekonomi kerakyatan.
Namun demikian, harus diakui, bahwa masih banyak kekurangan yang harus dibenahi, terutama oleh para petani bawang merah Brebes. Salah satunya yakni kekurang-mampuan para petani dalam mengelola komoditas unggulan ini secara utuh. Tak bisa dipungkiri, sampai hari ini, para petani bawang merah Brebes masih berkutat pada bidang cocok tanamnya saja.
Sebagain besar masyarakat Indonesia mengakui kepiawaian masyarakat Brebes dalam bercocok tanam bawang merah. Tak sedikit orang Brebes yang diperbantukan atau menggarap lahan untuk bercocok tanam bawang merah, seperti di Pemalang, Wleri, Kadipaten, Jogja, Solo bahkan sampai ke luar pulau Jawa.
Namun soal pendistribusian, pemasaran barang, penentuan harga sampai tingkat konsumen, sebagian besar petani Brebes belum begitu peduli. Dalam fikiran mereka, bagaimana caranya bawang merah yang sudah terpanen dapat segera terjual. Alhasil, petani sering menjadi korban fluktuasi harga. Para tengkulak begitu nyaman memainkan, mengombang-ambingkan harga bawang. Petani merugi, tengkulaklah yang mengais keuntungan.
Keinginan para petani Brebes untuk segera menjual hasil panennya, bahkan yang masih ada di sawah, tentu sangatlah beralasan. Kebanyakan petani Brebes adalah hanya petani penggarap lahan, bukan pemilik. Sehingga ketika mereka panen, ia berharap banyak bisa balik modal, syukur mendapat keuntungan.
Disamping itu pula, pasca terpanennya bawang merah, masih membutuhkan pekerjaan lain sampai dengan perawatan yang intens, ketika bawang merah itu hendak dijual di kemudian hari (baca: bawang merah bibit). Tentu hal ini membutuhkan ongkos yang banyak lagi.